Miftahul Ulum yang merupakan Asisten Pribadi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi mengakui menerima uang dari mantan Bendahara Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Johnny E Awuy...Lalu saya akui di persidangan ini, saya berniat untuk berkata jujur
"Dulu dalam BAP (Berita Acara Pemeriksa) saudara mengelak, sekarang saudara mengakui menerima ATM dari Jhony, kenapa dulu saudara mengelak?" tanya Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Prasetya dalam persidangan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
"Karena waktu itu kejadiannya Pak Jhony memang memberikan saya ATM, lalu saya akui di persidangan ini, saya berniat untuk berkata jujur," jawab Ulum, di Gedung KPK.
Baca juga: Mantan Menpora Imam Nahrawi debat eks deputi Kemenpora dalam sidang
Ulum menjadi saksi untuk terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi yang didakwa menerima suap sebesar Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI.
Dalam dakwaan Bendahara KONI Johnny E Awuy disebutkan mengirimkan Rp10 miliar dan sesuai arahan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, uang Rp9 miliar diserahkan kepada Imam melalui Miftahul Ulum, yaitu sebesar Rp3 miliar diberikan Johnny kepada Arief Susanto selaku suruhan Ulum di Kantor KONI Pusat; Rp3 miliar dalam bentuk 71.400 dolar AS dan 189.000 dolar Singapura diberikan Ending melalui Atam kepada Ulum di Lapangan Golf Senayan; dan Rp3 miliar dimasukkan ke amplop-amplop diberikan Ending ke Ulum di lapangan bulu tangkis Kemenpora RI.
Tujuan pemberian suap itu adalah agar Kemenpora mencairkan proposal pengawasan dan pendampingan sejumlah Rp51,592 miliar, sehingga cair Rp30 miliar.
"Di BAP 53 huruf c, saudara mengatakan 'saya tetap di sini gak papa yang penting dia lolos, saya akan mengakui uang yang belasan juta, saya akui yang 10 juta, 20 juta yang gede-gede gak akan saya akui, di luar itu gak saya akui, yang penting dia lolos', kalimat yang anda maksud siapa?" tanya jaksa Agus.
"Dia itu karena yang bermasalah KONI dan Kemenpora, dia itu sebenarnya ada Pak Menteri, ada Kejaksaan Agung, ada BPK, ada 3 orang ini yang perlu dilindungi waktu itu," jawab Ulum.
"Maksud saudara biar kasus ini sampai Pak Mulyana saja?" tanya jaksa Agus.
"Ya memang begitu, karena urusan BPK dan Kejaksaan Agung di Pak Mulyana dan KONI," jawab Ulum.
"Jangan sampai Pak Menteri?" tanya jaksa Agus.
"Ya, karena ada temuan di sana yang harus segera diselesaikan, Kejaksaan Agung sekian, BPK sekian dalam rangka pemenuhan penyelesaian perkara," jawab Ulum.
"Saudara saksi saudara saksi saudara saksi detail ya, untuk BPK berapa?" tanya hakim Rosmina.
"Untuk BPK Rp3 miliar, Kejaksaan Agung Rp7 miliar yang mulia, karena mereka bercerita permasalahan ini tidak ditanggapi Sesmenpora kemudian meminta tolong untuk disampaikan ke Pak Menteri, saya kemudian mengenalkan seseorang ke Lina meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan itu dulu," jawab Ulum.
Baca juga: Saksi sebut "pegel" tagih cicilan penjualan tanah Imam Nahrawi
"Saudara saksi tolong detail, seseorang itu kabur, siapa sebut saja namanya," kata hakim Rosmina.
"Saya meminjamkan uang atas nama saya mengatasnamakan Lilik dan Lina untuk meminjam uang Rp7 miliar untuk mencukupi kebutuhan Kejaksaan Agung kemudian Rp3 miliar untuk BPK, itu yang harus dibuka," jawab Ulum.
Menurut Ulum, pihak KONI dan Kemenpora sudah punya kesepakatan untuk memberikan sejumlah uang ke BPK dan Kejaksaan Agung untuk mengatasi sejumlah panggilan ke KONI oleh Kejaksaan Agung.
"Yang menyelesaikan dari Kemenpora itu salah satu Asdep Internasional di Kejaksaan Agung yang biasa berhubungan dengan orang kejaksaan itu, lalu ada juga Yusuf atau Yunus, kalau yang ke Kejaksaan Agung juga ada Ferry Kono yang sekarang jadi Sekretaris KOI (Komite Olimpiade Indonesia)," jawab Ulum.
Menurut Ulum, ia membantu mencarikan uang Rp3 miliar -Rp5 miliar dari kebutuhan Rp7 miliar - Rp9 miliar.
"Karena permasalahan itulah, KONI meminta proposal pengawasan dan pendampingan itu," ujar Ulum.
Ulum pun menyebutkan uang tersebut diberikan ke beberapa oknum di BPK dan Kejaksaan Agung.
"BPK untuk inisial AQ yang terima 3 miliar itu, Achsanul Qosasi, kalau Kejaksaan Agung ke Andi Togarisman, setelah itu KONI tidak lagi dipanggil oleh Kejagung," ujar Ulum.
Dalam sidang sebelumnya terungkap bahwa BPK menemukan sejumlah anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Kemenpora, KONI maupun cabang olahraga lainnya terkait dana Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima).
Temuan BPK ada anggaran Satlak Prima tidak sesuai peruntukan, misalnya akomodasi yang nilainya beda dengan jumlah dicairkan, lalu penggunaan nutrisi dan seterusnya, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sesmenpora Gatot S Dewa Broto mengetahui kondisi tersebut dari anggota BPK Achsanul Qosasi yang memaparkan audit internal tersebut pada Agustus 2019.
Baca juga: Mantan bendahara akui serahkan uang ke mantan Menpora Imam Nahrawi
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020