"Stimulus fiskal serentak dari berbagai negara memberikan bantalan bagi perekonomian dunia. Stimulus moneter untuk menjaga likuiditas sebagai urat nadi sistem finansial dunia," ujar Katarina dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (15/5) malam.
Yang menjadi perhatian pasar berikutnya adalah penyebaran COVID-19 yang mulai terkendali. Menurut Katarina, hal ini masih berlangsung. Beberapa negara mengindikasikan penurunan jumlah kasus baru dan mulai merencanakan membuka kembali ekonominya.
Terakhir, lanjutnya, adalah potensi pemulihan ekonomi yang masih menjadi pertanyaan. Pasar sudah memperkirakan dalam waktu dekat data ekonomi akan terpuruk.
"Yang menjadi perhatian saat ini adalah bagaimana arah ekonomi ke depannya. Beberapa faktor yang dapat diperhatikan adalah kebijakan 're-opening economy', perubahan perilaku masyarakat dan risiko wabah 'second wave' (gelombang kedua)," katanya.
Perlambatan ekonomi akibat pandemi sudah terjadi di kuartal satu lalu, seluruh dunia sudah terkena dampak ekonomi dari COVID-19. Aktivitas manufaktur maupun jasa cukup dalam terpuruk.
Katarina menuturkan, pelemahan ekonomi yang terjadi saat ini sudah tak lagi mengejutkan pasar, karena memang sudah diprediksi. Yang menjadi fokus adalah bukan berapa besar pelemahannya, tapi berapa lama hal ini akan berlangsung.
Pada 2020, pertumbuhan ekonomi dunia sudah diprediksi akan negatif. Akan tetapi dalam "scenario based line", dengan asumsi pandemi reda di semester II-2020, dan upaya penurunan wabah secara gradual berhasil dilakukan, maka diprediksi perekonomian global dapat melesat 5,8 persen di 2021.
"Tentunya apabila didukung dengan kebijakan dan stimulus dari seluruh dunia," katanya.
"Sekali lagi harus diingat, tetap masih ada risiko. Jika pandemi belum dapat dikendalikan di semester II tahun 2020, maka upaya penurunan wabah dan kebijakan stimulus dunia sampai beberapa saat kedepan, serta keikutsertaan kita semua saat ini untuk tetap di rumah aja masih sangat krusial," ujar Katarina.
Sama dengan negara-negara lain di seluruh dunia, pelemahan sudah terlanjur terjadi. Dampak ekonomi COVID-19 mulai terlihat pada data ekonomi domestik. Indikator utama seperti realisasi penanaman modal asing, manufaktur PMI, indeks keyakinan konsumer dan penjualan ritel, semuanya menunjukkan penurunan tajam di Maret.
Katarina mengatakan, hal itu sudah diprediksi dan bukan hal yang mengagetkan. Tapi dengan asumsi dunia dan termasuk Indonesia sudah bisa mengendalikan wabah COVID-19 di semester II-2020 ini, perbaikan gradual diperkirakan akan terjadi.
"Karena semua kondisi tadi diprediksi dengan asumsi semua wabah COVID-19 bisa dikendalikan di semester II, mari kita simpulkan. Rumus dari pemulihan ekonomi adalah uji cepat COVID-19 dapat berjalan ditambah pelacakan yang dilakukan agresif serta penurunan jumlah kasus. Ini menghasilkan pelonggaran PSBB yang berarti juga roda perekonomian bisa kembali berputar," katanya.
Adapun yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengupayakan itu semua antara lain peningkatan kapasitas uji cepat (peningkatan kapasitas dari 2.000 – 17.000 tes per hari), perbaikan transparansi informasi (jumlah ODP dan PDP dipublikasi), perbaikan infrastruktur kesehatan (kemudahan produksi/impor APD dan benda medis lainnya), PSBB atau pembatasan sosial yang masih cukup fleksibel (memastikan kelancaran logistik bisnis esensial), dan larangan mudik Hari Raya (meminimalkan potensi penyebaran lebih lanjut).
"Hal ini tak akan terlaksana jika kita tak membantu. Dengan mematuhi anjuran pemerintah, kita dapat meningkatkan probabilita terkendalinya COVID-19 segera. Yang artinya, Indonesia dapat segera mulai memasuki tahap pemulihan perekonomian," ujar Katarina.
Untuk kondisi pasar obligasi sendiri, Katarina menilai, kebijakan dan perkembangan penanganan COVID-19 di Indonesia, kepemilikan asing di level kurang dari 32 persen yaitu yang terendah sejak 2014, serta dukungan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas pasar obligasi adalah bekal positif untuk potensi pembalikan sentimen di pasar obligasi Indonesia.
"Netflow investor asing di pasar obligasi di bulan April, sudah menunjukkan adanya perbaikan, dengan kembali ke level positif. Bagaimanapun secara fundamental obligasi Indonesia memang sangat menarik dengan "real yield" yang sangat tinggi. Apalagi BI juga sangat menjaga pasar obligasi kita," katanya.
Saat investor asing sejenak berpaling dari pasar obligasi Indonesia, BI masuk untuk membeli obligasi demi memastikan harga tak semakin terpuruk. Dalam dua bulan, kepemilikan BI atas obligasi kita naik dua kali lipat.
Menurut Katarina, kebijakan pemerintah dan stimulus ekonomi dalam rangka penanganan COVID-19, sangat penting bagi pasar finansial karena akan sangat mempengaruhi aktivitas ekonomi, pendapat korporasi, dan keyakinan investor baik asing maupun domestik.
Sementara itu, untuk kondisi pasar saham, dibandingkan dengan negara-negara tetangga, data terkini menunjukkan "outflow" dari pasar saham Indonesia relatif lebih terkendali. Hal itu didukung oleh struktur ekonomi Indonesia yang lebih berorientasi pada konsumsi domestik.
"Saat ini, untuk PE 12 bulan ke depan berada di level 12,1 kali dan di kisaran -2 standar deviasi dibandingkan dengan rata-rata 10 tahun terakhir. Memang, valuasi saham tak lagi semurah Maret lalu, saat IHSG sedang ambruk-ambruknya. Buat Anda investor yang berprofil agresif, tentunya tak akan menunggu hingga valuasi kembali mahal untuk perlahan masuk ke saham kan?," ujar Katarina.
Baca juga: Sri Mulyani: Defisit fiskal RAPBN 2021 dipatok di atas 3 persen
Baca juga: Menkeu ungkap arus modal keluar Rp145,28 triliun pada triwulan I-2020
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2020