Golden Crown kepada Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi pelajaran terkait pemahaman aturan daerah.
"Kalau dari Asphija, jika ada gugatan kami ngikutin aja. Antara senang dan nggak juga. Senangnya, kita jadi paham secara aturan siapa yang benar dan nggak," kata Ketua Asphija Hana Suryani saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Menurut Hana, kasus Golden Crown ini muncul akibat giat yang dilakukan oleh pihak ketiga, yakni Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kepolisian. Namun penutupan tetap dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta meski pihak diskotek mengaku belum ada surat rekomendasi.
"Itu yang diharapkan oleh kita semua. Karena teman-teman di asosiasi berpandangan dasar penutupan harusnya dari rekomendasi, namun ini kan belum keluar rekomendasinya. intinya biar kita semua tau, proses yang benar bagaimana," katanya.
Hana menyebutkan akibat penutupan Golden Crown kemudian disusul penutupan diskotek Black Owl yang terkesan terburu-buru, membuat bingung para investor. Terlebih mereka juga masih harus memikirkan operasional dan mengurus karyawan yang tidak sedikit.
"Betul memang disebut oleh Dinas Pariwisata bahwa pencabutan itu sudah sesuai undang-undang karena ada laporan media massa dan warga. Tapi kan ini pemicunya ada giat BNN, kenapa tidak tunggu BNN sampai keluar rekomendasi atau surat keterangan apa yang terjadi di sana, para anggota melihatnya tidak ada kebijaksanaan di sini," kata Hana.
Baca juga: Penutupan Diskotek Golden Crown sesuai aturan
Baca juga: Thanos gugat DKI minta penutupan Golden Crown dibatalkan Menurut pemerhati tempat hiburan malam, S Tete Marthadilaga, pengelola Diskotik Golden Crown menggugat Pemerintah DKI Jakarta
karena merasa diperlakukan tidak adil setelah ditutupnya diskotek tersebut pada 7 Februari 2020.
Upaya hukum PT MAS ke PTUN tersebut dinilai sudah tepat dan melalui jalur hukum yang benar. Namun demikian jalannya proses hukum dalam persidangan harus dikawal agar terbebas dari intervensi dari pihak manapun.
"Karena biasanya apabila menyangkut tempat hiburan malam maka banyak yang ikut campur tangan. Terlebih dalam situasi pandemik COVID-19 biasanya sidang dilakukan dengan cara video conference (vicon)," kata Tete.
Menurut Tete, langkah hukum oleh PT MAS yang menampung ratusan tenaga kerja patut diapresiasi karena cukup berani menggugat Pemprov DKI Jakarta yang dituding bertindak sewenang-wenang dengan dalih menegakan Pergub Nomor 18 Tahun 2018.
Sementara nasib para pekerja di sektor wisata, kata dia, khususnya tempat hiburan malam dan sejenisnya sangat memprihatinkan akibat banyak tempat usaha ditutup menyusul penerapan PSBB karena pandemi COVID-19 hingga melumpuhkan semua sektor usaha.
Sementara ribuan pekerja masih banyak yang tertahan di ibu kota karena terhalang pemberlakuan PSBB baik di Jakarta maupun daerah tempat asal mereka dan juga larangan pulang kampung.
"Sementara mereka tetap harus bertahan di rumah kost, padahal tidak ada pemasukan," katanya.
Atas gugatan yang dilayangkan PT MAS ke PTUN yang intinya meminta penutupan tempat hiburan malam Golden Crown setelah terungkapnya 108 pengunjung menggunakan narkoba dibatalkan Pemprov DKI Jakarta, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) DKI Jakarta memandang hal itu sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Loh iya (adanya putusan penutupan) itu kan kita sesuai dengan aturan yang ada, sesuai prosedur. Kita kan ada aturan," kata Kepala Disparekraf DKI Jakarta Cucu Ahmad Kurnia saat dihubungi di Jakarta, Kamis (14/5).
Baca juga: Manajemen duga pengunjung pakai narkoba di luar Diskotek Golden Crown
Baca juga: Izin usaha Diskotek Golden Crown dicabut
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2020