Omzet pengrajin batik tulis khas Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, selama Ramadhan mengalami penurunan hingga 50 persen lebih dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menyusul adanya wabah penyakit virus corona (COVID-19).Seharusnya, momen puasa hingga menjelang Lebaran menjadi sangat berarti bagi pengrajin batik karena banyak pembeli
"Seharusnya, momen puasa hingga menjelang Lebaran menjadi sangat berarti bagi pengrajin batik karena banyak pembeli. Akan tetapi, omzet penjualan batik pada puasa Ramadhan tahun ini justru turun drastis," kata Pemilik Sanggar Muria Batik Kudus Yuli Astuti di Kudus, Minggu.
Penurunan omzet penjualannya, kata dia, bisa mencapai 50-an persen lebih dibandingkan bulan puasa tahun sebelumnya karena benar-benar sepi pembeli.
Jika sebelumnya bisa menjual hingga ratusan potong kain batik maupun pakaian batik tulis, maka selama puasa hingga menjelang Lebaran 2020 tidak banyak pesanan yang diterima.
Dalam rangka menarik minat pembeli di tengah pandemi COVID-19, maka diapun mencoba membuat pakaian batik tulis lengkap dengan masker dengan motif yang sama.
Selain itu, disediakan pula parsel dengan motif yang sama antara mukena, sajadah dan masker wajah atau parsel yang berisi pakaian muslim dan sajadah mendapatkan bonus masker wajah dengan motif yang sama pula.
Hasilnya, lanjut dia, memang ada pemesanan ke beberapa kota besar, seperti Makasar, Palembang, Jakarta dan beberapa kota di luar jawa, meskipun harganya juga tidak murah karena berkisar Rp250 ribu hingga Rp350 ribu untuk setiap parselnya.
Termasuk, lanjut dia, pesanan khusus masker dari kain batik yang memang dibuat untuk mengikuti tren permintaan selama COVID-19.
"Jika dijumlahkan, maka omzetnya memang masih kalah jauh dibandingkan momen puasa tahun lalu," ujarnya.
Meskipun demikian, dia mengaku bersyukur, masih ada penjualan dan pekerjanya masih bisa tetap bekerja selama puasa karena menyelesaikan pesanan sebelum memasuki bulan puasa serta pesanan masker.
Terkait dengan ketersediaan bahan baku, katanya, tidak ada permasalahan, meskipun harganya juga ikut melonjak, namun karena hampir semua pengrajin batik juga mengalami dampak yang sama, akhirnya permintaan bahan baku juga tidak tinggi sehingga di pasaran masih tersedia stok.
Baca juga: Dekranasda Yogyakarta perkirakan 70 persen UMKM terdampak COVID-19
Baca juga: Kreativitas dunia fesyen di balik krisis corona
Pewarta: Akhmad Nazaruddin
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020