Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) telah melapor ke Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) atas dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Deputi Penindakan KPK Karyoto...telah menyampaikan surat kepada Dewas KPK berupa laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Karyoto...
"Pada hari ini, MAKI via email telah menyampaikan surat kepada Dewas KPK berupa laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Karyoto selaku Deputi Pimpinan Bidang Penindakan KPK dalam memberikan rilis kegiatan tangkap tangan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 20 Mei 2020," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa.
Ia menyatakan bahwa Karyoto menyampaikan rilis kegiatan tangkap tangan itu seorang diri. Hal tersebut bertentangan dengan arahan dan evaluasi Dewan Pengawas KPK yang berisi bahwa yang diperkenankan memberikan pernyataan terkait penanganan suatu perkara atau kasus kepada media adalah pimpinan KPK dan/atau juru bicara KPK.
Kemudian, kata dia, penyebutan nama-nama secara lengkap tanpa inisial terhadap orang-orang yang dilakukan pengamanan dan atau pemeriksaan terkait OTT di Kemendikbud tersebut. "Padahal semestinya penyebutan nama dengan inisial demi asas praduga tidak bersalah dan selama ini rilis atau konferensi pers KPK atas operasi tangkap tangan (OTT) selalu dengan penyebutan inisial untuk nama-nama yang terkait dengan OTT," ujarnya pula.
Baca juga: OTT Kemendikbud, KPK sebut MAKI bangun opini keliru pada masyarakat
Selanjutnya, ia menyoroti pernyataan Karyoto dalam narasi pembukaan awal rilis menyatakan, "Merespons pertanyaan rekan-rekan wartawan soal informasi adanya kegiatan OTT, dapat kami jelaskan sebagai berikut".
"Hal ini diduga tidak benar karena informasi OTT tidak bocor, sehingga tidak ada wartawan yang menanyakan kabar OTT dan diduga OTT diberitahukan oleh Karyoto kepada wartawan dalam bentuk rilis," katanya lagi.
Selain itu, ia juga menyoroti kegiatan tangkap tangan terhadap staf Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di Kemendikbud diduga tanpa perencanaan matang dan tidak detail mulai dari penerimaan pengaduan masyarakat sampai dengan keputusan untuk melakukan kegiatan tangkap tangan.
"Semestinya sebelum melakukan kegiatan tangkap tangan sudah dipastikan apa modusnya apakah suap atau gratifikasi dan siapa penyelenggara negaranya, sehingga ketika sudah dilakukan kegiatan tangkap tangan tidak mungkin tidak ditemukan penyelenggara negaranya," ujar Boyamin.
Menurut dia, perencanaan dan analisa perkara terhadap kegiatan tangkap tangan diduga tidak melibatkan jaksa yang bertugas di KPK.
"Hal ini berdasar hasil kegiatan tangkap tangan yang gagal, karena jika OTT dilakukan dengan melibatkan jaksa semestinya tidak gagal sebagaimana selama ini terjadi di KPK," ujar dia.
Dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan penanganan perkara termasuk OTT, lanjut Boyamin, semestinya melibatkan jaksa sebagai pengendali penanganan perkara untuk memastikan materi substansi peristiwa, kapan eksekusi penangkapan dan penahanan, dan kewenangan para pihak.
Ia pun menilai pelaksanaan kegiatan tangkap tangan diduga tidak tertib dan tidak lengkap administrasi penyelidikan sebagaimana ditentukan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan KUHAP untuk pengamanan seseorang atau penangkapan dan permintaan keterangan para pihak dari staf dan Rektor UNJ.
"Semestinya jika kegiatan tangkap tangan ini bagus dengan segala administrasinya, maka potensi gagal adalah kecil," kata dia.
Ia mengungkapkan kegiatan tangkap tangan sesuai prosedur standar adalah dengan dilakukan penyadapan terhadap pihak-pihak terkait.
"Dalam kegiatan tangkap tangan ini, jika dilakukan penyadapan maka saya yakin tidak ada izin penyadapan dari Dewan Pengawas atau jika tidak dilakukan penyadapan maka telah melanggar SOP KPK," katanya pula.
Baca juga: MAKI soroti OTT KPK di lingkungan Kemendikbud
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020