Pemerintah Indonesia mendukung pernyataan sikap Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, yang mendesak seluruh pihak berkonflik untuk menghentikan sementara pertempuran guna memudahkan bantuan kemanusiaan masuk ke daerah konflik atau humanitarian pause selama pandemi COVID-19.Komitmen Indonesia terhadap perempuan, perdamaian, dan keamanan sering disampaikan pada banyak kesempatan, dan saya akan terus berbuat demikian di masa depan,
"COVID-19 jadi momentum untuk menghentikan pertempuran dan menurunkan senjata, di antaranya termasuk konflik di Afghanistan, dan ini sejalan dengan desakan yang disampaikan sekretaris jenderal PBB untuk segera menghentikan pertempuran selama pandemi," kata Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, saat jumpa pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis.
Dewan Keamanan PBB menggelar pertemuan virtual, Rabu (27/5) di bawah kepemimpinan Estonia. Pertemuan yang dipimpin oleh Presiden Estonia Kersti Kaljulaid, dihadiri oleh Menlu Retno, Sekretaris Jenderal PBB Guterres, menteri luar negeri dari Inggris dan Jerman, Peraih Nobel Perdamaian 2011 Ellen Johnson Sirleaf, Presiden Komite Palang Merah International (ICRC) Peter Maurer, dan seluruh anggota DK-PBB.
Dalam pertemuan itu, Menlu Retno menyampaikan aksi kekerasan akibat konflik bersenjata meningkat sekitar 37 persen pada pertengahan Maret sampai pertengahan April, beberapa di antaranya terjadi di wilayah Sub Sahara Afrika. Dalam dua bulan terakhir, konflik bersenjata menyebabkan lebih dari 661.000 orang terusir paksa dari rumahnya.
Di samping humanitarian pause, Pemerintah Indonesia juga mendesak DK-PBB untuk memastikan negara-negara anggota mematuhi hukum kemanusiaan internasional, khususnya terkait situasi di Palestina.
"Saya menggarisbawahi situasi di Palestina, yang mana kepatuhan terhadap hukum kemanusiaan internasional sangat dibutuhkan mengingat mereka menghadapi ancaman pandemi (COVID-19) dan aneksasi dalam waktu bersamaan," tambah Retno.
Israel, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, berencana mengambil paksa seluruh wilayah Tepi Barat pada 1 Juli 2020. Rencana itu mendapat dukungan dari Presiden AS Donald Trump, tetapi ditentang oleh Palestina serta sebagian besar negara di Eropa dan Asia.
Dalam pertemuan itu, Retno menekankan DK-PBB punya kewajiban memulihkan kembali hak Palestina terhadap wilayahnya sesuai dengan tapal batas 1967.
Tapal Batas 1967, kerap dikenal dengan 1967 Borders atau Green Line, merupakan garis batas yang ditetapkan saat gencatan senjata sebelum Israel mengadakan serangan selama enam hari ke daerah-daerah yang dihuni oleh rakyat Palestina, termasuk di antaranya di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur.
"Kita tidak dapat membiarkan Israel melanjutkan rencana aneksasinya (di Tepi Barat)," terang Retno.
Isu terakhir yang diangkat Retno saat pertemuan DK-PBB, Rabu, terkait desakan untuk DK-PBB dan negara-negara anggota untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam upaya perlindungan terhadap warga sipil di daerah konflik.
"Komitmen Indonesia terhadap perempuan, perdamaian, dan keamanan sering disampaikan pada banyak kesempatan, dan saya akan terus berbuat demikian di masa depan," ujar dia.
Baca juga: Menlu AS hubungi Retno Marsudi bahas Afganistan, COVID-19, Palestina
Baca juga: Indonesia serukan gencatan senjata di wilayah konflik selama pandemi
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020