"Terhadap pesantren, pemerintah belum memiliki perhatian dan kebijakan khusus untuk menangani COVID-19," kata Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI/Asosiasi Pesantren NU) Abdul Ghofarrozin kepada wartawan di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, tiba-tiba pemerintah mendorong pelaksanaan normal baru dalam kehidupan pesantren. Hal demikian mengkhawatirkan karena alih-alih menyelematkan pesantren dari COVID-19, pesantren yang berbasis komunitas dan komunal justru dapat menjadi klaster baru penularan virus corona jenis baru itu.
Dia mengatakan jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 masih tinggi, mengkhawatirkan serta persebarannya makin meluas. Sementara untuk mencegah penularan corona sangat sulit dilakukan di pesantren karena jika aktivitas normal, maka potensi penularan makin tinggi.
Baca juga: Pemerintah harus alokasikan anggaran penanganan COVID-19 pesantren
"Keadaan demikian seharusnya membuat pemerintah tetap waspada dan memastikan aturan, seperti PSBB, dapat berjalan secara efektif, namun cenderung akan ada pelonggaran dan sangat berisiko makin meluasnya persebaran COVID-19, termasuk dalam lembaga pendidikan," katanya.
Untuk itu, Abdul menyebut kebijakan normal baru di pesantren sebaiknya tidak diterapkan apabila tidak ada dukungan pemerintah dalam menjaga ponpes dari risiko penyebaran corona.
Baca juga: F-PPP minta Pemerintah harus perhatikan pesantren di masa pandemi
"Dukungan fasilitas kesehatan untuk pemenuhan pelaksanaan protokol kesehatan, seperti rapid test, hand sanitizer, akses pengobatan dan tenaga ahli kesehatan," katanya.
Baca juga: PKB minta pemerintah perhatikan pesantren di masa new normal
Dia mengatakan dunia pesantren juga membutuhkan dukungan sarana dan fasilitas pendidikan, meliputi fasilitas pembelajaran daring bagi santri yang belum bisa kembali ke ponpes dan biaya pendidikan bagi santri yang terdampak secara ekonomi.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020