"Indonesia, dan negara lain, dapat mencontoh, cara Pemerintah Jerman mengendalikan wabah, yang saya temukan pertama, kesiapan infrastruktur sistem kesehatan. Jerman merupakan salah satu negara di Eropa yang memiliki tempat tidur untuk layanan perawatan intensif terbanyak," kata Arif Havas.
Tidak hanya itu, Jerman juga jadi salah satu negara dengan jumlah rumah sakit dan alat bantu pernapasan terbanyak di Eropa. Setidaknya ada sekitar 28.000 kasur yang tersedia di unit layanan intensif di Jerman dan otoritas setempat menambah sampai 40.000 tempat tidur selama pandemi COVID-19.
Sementara itu, jumlah rumah sakit di Jerman mencapai hampir 1.400 unit. Banyaknya jumlah rumah sakit sempat memicu kritik dari beberapa pihak karena banyak ruang kosong, kata Havas.
Namun, adanya pandemi membuat kondisi itu jadi faktor yang menguntungkan bagi Jerman untuk cepat merawat pasien COVID-19 dan menekan angka kematian.
"Pembangunan infrastruktur kesehatan yang dilakukan Jerman itu sesuatu yang sebaiknya ditiru banyak negara, termasuk kita di Indonesia," ujar dia.
Tidak hanya itu, Arif Havas berpendapat Pemerintah Jerman cukup tanggap mengendalikan penyebaran virus sehingga dampak wabah dapat cepat terkendali.
"Faktor yang juga penting ada di tingkat kebijakan. Kasus pertama di Jerman ditemukan pada 27 Januari dan tidak lama kemudian tim pengendali virus corona pun langsung dibuat," terang dia.
Pemerintah Jerman juga mengadakan pertemuan rutin antara kanselir dan pimpinan negara bagian satu kali tiap dua minggu. Adanya pertemuan berkala memungkinkan tiap pimpinan negara bagian menyampaikan perkembangan situasi penyebaran wabah sehingga masing-masing pihak mengetahui seberapa ketat pembatasan yang harus diterapkan guna mengurangi risiko penularan.
"Struktur pemerintahan di Jerman itu negara federal, salah satu hal yang penting untuk dipelajari lebih lanjut. Indonesia memang bukan negara federal, tetapi regionalisasi di sini sangat kuat," jelas dia.
Dalam sesi diskusi yang sama, Duta Besar Republik Federasi Jerman untuk Indonesia Peter Schoof, menambahkan pemeriksaan COVID-19 secara massal juga jadi faktor penting yang menghambat penyebaran virus.
Menurut dia, hasil pemeriksaan akan jadi data bagi pembuat kebijakan guna menentukan seberapa longgar pembatasan yang akan diberlakukan. Tidak hanya itu, hasil tes COVID-19 juga jadi acuan bagi pemerintah untuk bertindak cepat jika kasus baru ditemukan.
Pemerintah Jerman menggelar pemeriksaan COVID-19 lewat antibodi (rapid test) secara menyeluruh sejak April. Setidaknya, 120.000 tes dilakukan per harinya di Jerman, negara dengan populasi sekitar 83 juta jiwa.Data Robert Koch Institute menunjukkan per 27 Mei 2020, jumlah warga yang telah menjalani pemeriksaan COVID-19 mencapai kurang lebih 3,9 juta jiwa.
Otoritas Jerman memberlakukan semi-karantina pada pertengahan Maret dan berakhir pada akhir Mei. Saat ini, beberapa pimpinan negara bagian telah mencabut sejumlah aturan pembatasan, tetapi mereka tetap mewaspadai adanya kasus penularan baru.
Schoof menjelaskan jika jumlah kasus positif COVID-19 baru melampaui angka 50 di wilayah dengan populasi 400.000 jiwa, maka aturan pembatasan akan diberlakukan kembali di daerah tersebut.
Baca juga: Dubes Jerman sebut tes COVID-19 kunci hadapi pandemi dan "new normal"
Baca juga: KBRI Berlin imbau WNI tetap di Jerman selama pembatasan berlangsung
Baca juga: Jerman perkirakan vaksin COVID-19 siap akhir tahun ini
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020