"Sumber daya selama yang kita keluarkan untuk menanggulangi kebakaran hutan itu luar biasa besar, maka mungkin ada pergeseran paradigma baru juga bahwa kita mendorong mungkin perlunya dilakukan restorative justice (keadilan restoratif) bagi pelaku," kata Wamen LHK dalam diskusi secara daring Pojok Iklim yang dilaksanakan di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, untuk membuat pelaku sadar akan dampak dari perbuatannya maka dapat dilibatkan dalam pengendalian karhutla. Selain hukuman pidana bagi yang terlibat dalam pembakaran, kata Alue, mungkin pelaku juga dapat dilibatkan dalam upaya pemadaman.
Ide melibatkan pelaku dalam upaya penanggulangan karhutla, kata dia, agar supaya mereka menyadari beratnya usaha untuk melakukan pencegahan dan pemadaman yang biasa dilakukan Manggala Agni, BNPB, TNI, Polri serta berbagai pihak lainnya.
Baca juga: Dua ada di Riau, BMKG deteksi ada 16 titik panas di Pulau Sumatera
Baca juga: Rekayasa hujan untuk basahi gambut Riau di Hari Raya
"Penyebab api boleh kita katakan 99 persen adalah antropogenik, akibat perbuatan manusia. Itu mungkin semacam gagasan awal, diskursus yang mungkin bisa kita terapkan di samping tindakan-tindakan seperti biasanya, langsung pidana dan seterusnya. Supaya mungkin dia akan berubah," kata Alue.
Jika pelaku menyadari betapa beratnya usaha untuk memadamkan maka bisa terjadi perubahan pola pikir. Hal itu dilakukan karena tindakan manusia menjadi penyebab terbesar karhutla sehingga kesadaran suka rela menjadi hal yang penting.
Selain itu, pemberdayaan manusia di area rawan karhutla tetap menjadi ujung tombak dalam usaha pencegahan. Wamen Alue mencontohkan bagaimana pemanfaatan menggunakan pembakaran untuk membersihkan lahan bisa diganti dengan usaha yang lebih ramah terhadap lingkungan.*
Baca juga: Bencana alam periode Januari - Mei 2020 di Sumsel meningkat
Baca juga: Pakar sebut karhutla berulang karena sengaja dibakar
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020