"Masyarakat Indonesia sedang kesulitan karena menghadapi pandemi COVID-19, lalu apakah pantas kita menyelenggarakan pesta demokrasi seperti Pilkada? Kalau Pilkada tetap dilakukan maka kita akan dicatat dalam sejarah bahwa ketika rakyat sedang menderita, malah kita berpesta," kata Bustami kepada Antara di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Bustami Zainudin pertanyakan keputusan Pilkada 2020 tidak libatkan DPD
Dia menilai saat ini nurani para pemimpin bangsa diuji karena keputusan penyelenggaraan Pilkada 2020 yang akan diselenggarakan tanggal 9 Desember mendatang, tidak elok karena rakyat sedang menderita menghadapi pandemi.
Bustami melihat ada kecenderungan DPR dan pemerintah ingin terburu-buru melaksanakan Pilkada 2020, karena itu patut dipertanyakan keputusan waktu pelaksanaan Pilkada itu padahal ada opsi lain yaitu dilaksanakan pada April 2021 setelah situasi pandemi berakhir.
"Karena itu menunda pelaksanaan Pilkada 2020 adalah langkah lebih baik karena ada opsi kedua yaitu dilaksanakan pada tahun 2021. Anggaran untuk Pilkada 2020 sebesar Rp15 triliun lebih baik digunakan untuk membantu masyarakat yang sedang kesusahan hadapi pandemi," ujarnya.
Mantan Bupati Waykanan Lampung itu menjelaskan tiga alasan mengapa Pilkada 2020 harus ditunda, pertama, pelaksanaannya di tengah kondisi pandemi, akan sangat berisiko bagi penyelenggara di daerah karena dikhawatirkan terpapar COVID-19.
Menurut dia, pelaksanaan Pilkada akan melibatkan Sumber Daya Manusia (SDM) hebat yang ada di daerah dan mereka mau tidak mau akan bersentuhan dengan orang sehingga dikhawatirkan terpapar COVID-19.
"Siapa yang mau bertanggung jawab atas jaminan kesehatan mereka, asuransi mereka, jaminan keselamatan kalau sampai terjadi (terpapar COVID-19)," katanya.
Kedua menurut dia, kalau Pilkada tetap dilaksanakan di tengah pandemi, maka yang diuntungkan adalah calon-calon kepala daerah petahana.
Baca juga: Ombudsman ingatkan potensi maladministratif pada Pilkada Serentak 2020
Dia mengatakan petahana dengan statusnya sebagai Ketua Gugus Tugas COVID-19 di daerah bisa masif bertemu masyarakat sementara itu lawannya yang bukan petahana, diatur bertemu warga dengan alasan kondisi pandemi COVID-19.
"Selama ini mereka (petahana) mendistribusikan bahan pokok untuk COVID-19 lalu menggunakan infrastruktur pemerintahan. Ini yang saya nilai tidak memenuhi azas jujur dan adil," ujarnya.
Dia menilai prinsip jurdil tidak ada bagi calon-calon kepala daerah non-petahana karena kesempatan bersosialisasi dan tatap muka dengan masyarakat sangat kurang.
Baca juga: Pakar: Jangan paksakan pilkada di tengah pandemi COVID-19
Baca juga: Ketua DPD sarankan kaji ulang Pilkada Desember 2020
Baca juga: Kemendagri minta pemda dukung dan bantu KPU siapkan Pilkada 2020
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020