Pengamat kelautan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyatakan bahwa kebijakan terkait komoditas lobster jangan dibuat hanya sekadar untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor perikanan.Ketidakpastian yang sangat tinggi di dalam pengelolaan sumber daya perikanan dikalahkan oleh pertimbangan jangka pendek semata-mata mengejar PNBP
"Ketidakpastian yang sangat tinggi di dalam pengelolaan sumber daya perikanan dikalahkan oleh pertimbangan jangka pendek semata-mata mengejar PNBP," kata Abdul Halim ketika dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, kekayaan sumber daya laut Nusantara seperti lobster dapat menjadi kutukan bagi masyarakat sekitar bila pengelolaannya mengabaikan sikap kehati-hatian dan penerapan prinsip berkelanjutan.
Ia menyoroti kebijakan yang saat ini membolehkan kembali ekspor benih lobster dengan persyaratan ketat, yang dinilai sebenarnya regulasi itu masih memerlukan kajian ilmiah lebih lanjut.
"Masalahnya hasil kajian Komnas Kajiskan (Pengkajian Sumber Daya Ikan) pada 2016 menunjukkan bahwa status stok dan pemanfaatan lobster di 11 WPP (Wilayah Pengelolaan Perairan) Negara Republik Indonesia sudah penuh dan overexploited (eksploitasi berlebih)," katanya.
Abdul Halim juga menekankan pentingnya manajemen yang mumpuni, tidak permisif, serta menegakkan hukum dengan adil.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan, regulasi terkait komoditas lobster, yang mencakup antara lain budidaya lobster dan ekspor benih lobster dengan syarat ketat, merupakan kebijakan yang terukur dan terkendali.
"Hakekat peraturan ini sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat," kata Edhy.
Menteri Edhy mengungkapkan latar belakang terbitnya Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan. Berawal dari pengalamannya saat menjabat sebagai Ketua Komisi IV DPR, dia mendengar berbagai keluhan masyarakat pesisir selama kurun waktu 2014 - 2019, terutama masyarakat yang terdampak larangan pemanfaatan benih lobster untuk budidaya.
Atas dasar tersebut, Menteri Edhy kemudian membentuk tim dan melakukan kajian publik, kajian akademis serta melihat langsung ke lapangan. Bahkan, ia juga melakukan pengecekan ke Unversitas Tasmania, tempat penelitan lobster di Australia.
Hasilnya, dia menemukan adanya manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat dari komoditas lobster tanpa harus menghilangkan faktor keberlanjutannya. Sebagai gambaran, disebutkan bahwa di Universitas Tasmania lobster bisa menghasilkan hingga empat juta telur selama musim panas yang berlangsung selama empat bulan, atau sejuta telur perbulan.
"Ini lah yang semakin meyakinkan saya bahwa dalam rangka membangun industri lobster di Indonesia adalah keharusan dan suatu hal yang tepat. Memang ada kekhawatiran, makanya ada kontrol pengawasan komunikasi dua arah," jelasnya.
Terkait beleid ekspor benih di Permen KP nomor 12 tahun 2020, Menteri Edhy memastikan bahwa dirinya tetap mengutamakan aspek budidaya. Hal ini ditunjukkan melalui syarat ketat seperti sebelum mengekspor, siapapun harus melakukan budidaya terlebih dahulu.
Sementara untuk pembudidaya, Menteri Edhy juga mewajibkan mereka untuk melakukan restocking ke alam sebesar dua persen dari hasil panennya. "Ini aturan yang kita buat akan ada pemantauan dan pengawasan, setahun ada pemantauan dan evaluasi ke depan," tegas Menteri Edhy.
Baca juga: Dirjen KKP ungkap pedoman minimal persyaratan budidaya lobster
Baca juga: KKP: Lebih untung budi daya lobster dibanding ekspor benih
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020