"Mengapa kami mengkaji sistem tertutup karena MK sudah putuskan pemilu serentak konstitusional yaitu mutlak hanya di pusat yaitu DPR RI, DPD RI, dan Presiden-Wakil Presiden berbarengan satu hari H pemilihan," kata Zulfikar saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan sistem tersebut lebih memudahkan bagi pemilih dalam menggunakan hak pilihnya karena surat suara hanya satu yaitu pasangan calon presiden-wapres lalu di bawahnya logo partai yang mendukung.
Baca juga: F-Gerindra cenderung dukung sistem proporsional terbuka
Menurut dia, kalau seseorang senang dengan paslon capres-cawapres maka bisa langsung memilih partai yang mengusung pasangan tersebut.
Zulfikar menjelaskan argumentasi kedua, sistem tertutup lebih bisa secara signifikan mendapatkan efek ekor jas dalam pemilu karena salah satu yang ingin dicapai dalam keserentakan pemilu adalah pemenang eksekutif sama dengan pemenang legislatif.
"Oleh karena itu diharapkan eksekutif mendapatkan dukungan legislatif, itu didapat dari pengaruh efek ekor jas. Misalnya saya pilih capres A maka saya pilih partai yang mengusung A, itu akan lebih signifikan dampaknya karena milih partai sehingga kalau sistem terbuka maka akan terjadi 'cross cutting'," ujarnya.
Menurut dia, argumentasi ketiga, proporsional tertutup akan membuat biaya penyelenggaraan pemilu lebih murah karena surat suara yang digunakan hanya satu yaitu memilih paslon capres-cawapres dan partai politik pendukungnya.
Baca juga: Wakil rakyat: Proporsional terbuka hindari oligarki partai
Namun Zulfikar mengatakan, meskipun partainya mengusulkan sistem tertutup, partisipasi masyarakat terutama dalam kaderisasi di internal parpol harus dibuat rinci dalam UU Pemilu sehingga tidak hanya diatur dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai bahwa rekrutmen calon anggota legislatif berlangsung demokratis dan terbuka dengan tahapan yang diatur dalam UU.
"Kalau tertutup, Insya Allah pemilih semakin diarahkan menyoblos capres dan partai yang mengusung paslon tersebut," katanya.
Zulfikar menjelaskan, sebenarnya Partai Golkar mengusulkan tiga pilihan alternatif yang akan digunakan terkait sistem pemilu yaitu proporsional terbuka, tertutup, atau campuran.
Menurut dia, kalau yang akan digunakan proporsional terbuka maka harus terbuka penuh, artinya pemilih memilih caleg bukan seperti yang digunakan dalam Pemilu 2009, 2014, dan 2019.
Baca juga: Komisi II sampaikan poin krusial dalam draf RUU Pemilu
"Kalau kita proporsional terbuka di Pemilu 2009, 2014, dan 2019 namun masih tanggung karena masih menyediakan ruang bagi pemilih untuk mencoblos partai padahal coblos partai adalah sistem tertutup," katanya.
Ia mengkritik kalau sistem memilih partai dan disusun sesuai nomor urut, itu ciri proporsional tertutup sehingga partainya mendorong kalau mau menggunakan sistem terbuka maka pemilih harus benar-benar mencoblos nama caleg dan disusun secara alfabet.
Zulfikar mengatakan, partainya juga mengusulkan jika tidak mau menggunakan proporsional terbuka atau tertutup maka menggunakan sistem campuran yaitu bisa sistem paralel atau "mixed member proportional", sehingga silakan dikaji, mana yang lebih tepat digunakan untuk Indonesia.
Baca juga: Anggota DPR: rekap elektronik akan diatur dalam RUU Pemilu
"Kalau mau proporsional terbuka, ya benar-benar pilih orang, susun secara alfabet namun kalau tidak mau maka gunakan sistem tertutup karena kompatibel dengan keserentakan pemilu. Kalau tidak mau lagi, ya kami tawarkan sistem campuran, yaitu bisa sistem paralel atau 'mixed member proportional'," katanya.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020