Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustopa, yakin sistem pemilu proporsional terbuka akan menghindari oligarki partai dalam penentuan calon anggota legislatif dan untuk memperkuat partisipasi publik dalam memberikan hak politiknya.... hindari oligarki partai dalam sistem pemilu terbuka dan ingin perkuat partisipasi publik...
"Kami hindari oligarki partai dalam sistem pemilu terbuka dan ingin perkuat partisipasi publik," kata dia, dalam diskusi virtual bertajuk "Kemana Arah RUU Pemilu", di Jakarta, Minggu.
Ia mengatakan, memperkuat partisipasi publik agar masyarakat diberikan kebebasan hak-haknya untuk memilih anggota legislatif yang dinilai baik.
Baca juga: Sistem Pemilu Indonesia bisa mengadopsi model konvensi di Amerika
Ia mengatakan argumen mengapa beberapa fraksi mengusulkan sistem terbuka karena ada elit partai yang sudah bekerja untuk partai politik, lalu ketika pemilu diberikan nomor urut 1 namun kalah ketika berhadapan dengan tokoh masyarakat di daerah pemilihan.
"Itu faktor untuk kembali pada sistem tertutup yaitu perkuat posisi partai. Argumentasi sistem terbuka adalah menghindari oligarki partai dan beri peluang masyarakat untuk memilih calon terbaik," ujarnya.
Sekretaris Fraksi Partai NasDem di DPR itu mengatakan naskah RUU Pemilu yang beredar saat ini terkait sistem Pemilu proporsional terbuka atau tertutup, bukan draf final untuk diputuskan karena kemungkinan ada pilihan alternatif lain.
Baca juga: 74 tahun persandian, BSSN didorong lahirkan sistem pemilu elektronik
Hal itu menurut dia karena sikap fraksi-fraksi masih berbeda yaitu PDI Perjuangan dan Golkar menginginkan proporsional tertutup; Fraksi NasDem, Fraksi
PKB, Fraksi PKS, dan Fraksi Partai Demokrat mengusulkan terbuka.
"Lalu saya yakin Fraksi PAN tetap ingin sistem pemilu ini terbuka, dan Fraksi Gerindra belum menentukan sikapnya," katanya.
Dalam diskusi tersebut, pengamat politik LIPI, Moch Nurhasim, mengatakan setelah membaca draf RUU Pemilu, sama persis dengan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, kecuali tiga hal yaitu sistem pemilu yang akan diubah menjadi tertutup, besaran daerah pemilihan atau district magnitude menjadi 3-8, dan ambang batas parlemen dengan salah satu opsi tujuh persen.
Baca juga: Ini kata pengamat soal Pemilu dengan sistem proporsional
Dia menduga ini merupakan batu ujian partai politik besar untuk melakukan perubahan sistem pemilu pada Pemilu 2024 yaitu ingin menjawab kompleksitas penyelenggaraan Pemilu 2019.
"Karena itu dengan menggunakan sistem proprosional tertutup dianggap bisa atasi kompleksitas tersebut. Kritik atas kompeksitas atau ruwetnya Pemilu 2019 seperti banyak penyelenggara pemilu kelelahan dan menjadi korban, bisa diatasi dengan cara ini (sistem proprosional tertutup)," katanya.
Baca juga: Akademisi: Indonesia perlu coba pemilu sistem distrik
Ia mengatakan kalau desain Pemilu 2024 sama dengan Pemilu 2019 lalu dalam pelaksanaannya tidak kompleks yaitu penyelenggara mudah menjalankannya, apakah mungkin model pemilu nasional yang terpisah dengan Pemilu daerah bisa dijamin dilaksanakan pada Pemilu serentak nasional pertama di 2027.
Menurut dia, jangan-jangan arahnya tidak pasti karena situasi politik lima tahunan sehingga bisa jadi penyelenggaraan pemilu yang terpisah antara nasional dan daerah tidak terjadi apabila batu ujian penyelenggaraan Pemilu 2024 dengan desain Pemilu 2019 tidak rumit secara teknis atau mudah dilakukan karena ssitem pemilu diubah menjadi tertutup.
Baca juga: Pengamat: Jangan kembali ke sistem pemilu yang buruk
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020