• Beranda
  • Berita
  • IOM: Kasus pekerja migran tidak bisa diselesaikan satu institusi

IOM: Kasus pekerja migran tidak bisa diselesaikan satu institusi

10 Juni 2020 16:03 WIB
IOM: Kasus pekerja migran tidak bisa diselesaikan satu institusi
Koordinator Program Nasional di Organisasi Migran Internasional (IOM) Indonesia, Among Pundhi Resi. ANTARA/M Razi Rahman

Harus ada kerja sama dan koordinasi yang kuat lintas pemangku kepentingan karena tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu institusi

Koordinator Program Nasional di Organisasi Migran Internasional (IOM) Indonesia, Among Pundhi Resi, mengingatkan bahwa kasus pekerja migran seperti kerja paksa ABK Indonesia di kapal ikan asing tidak bisa diselesaikan satu institusi.

"Harus ada kerja sama dan koordinasi yang kuat lintas pemangku kepentingan karena tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu institusi," kata Among Pundhi Resi dalam diskusi daring di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, IOM Indonesia sebagai lembaga yang berada di bawah naungan PBB, telah membantu lebih dari 2.000 ABK Indonesia, di mana lebih dari 50 persen mengikuti program reintegrasi bagi korban kasus tindak pidana perdagangan orang.

Program reintegrasi tersebut terdiri atas kelas pendidikan formal, pendidikan keahlian, kelas bahasa, peternakan dan pertanian. Seluruhnya disesuaikan dengan kebutuhan dan minat korban serta mempertimbangkan prospek usaha dan manfaat ke depannya.

Selama melakukan pendampingan terhadap berbagai kasus perdagangan orang khususnya bagi awak kapal perikanan, IOM melihat bahwa kasus tersebut memiliki banyak yurisdiksi dan aktor yang terlibat sehingga perlu adanya jaringan dan koordinasi serta perlindungan korban yang kuat.

Among juga mengungkapkan, ABK Indonesia rata-rata awalnya dibujuk rayu dengan tawaran gaji tinggi dengan menggunakan jasa orang dekat dan sahabat. Namun setelah bekerja, baru diketahui bahwa berbagai tawaran itu adalah bohong belaka bahkan banyak yang gajinya tidak dibayar sama sekali.

Berbagai cara pelaku mengendalikan korban ABK adalah melalui penggunaan kekerasan, pemenjaraan, ancaman imigrasi, kapal yang selalu berada di tengah laut lepas, pemindahan dari satu kapal ke kapal lain di tengah laut, serta jerat utang.

Pembicara lainnya, Fenny, yang merupakan istri dari salah seorang ABK yang terindikasi mengalami penyiksaan di kapal ikan asing berbendera China, mengungkapkan bahwa suaminya awalnya dijanjikan untuk bekerja di Korea Selatan.

Selain itu, ujar Fenny, suaminya dijanjikan bekerja di darat di Korsel, tetapi setelah berangkat malah diarahkan ke laut untuk bekerja di kapal ikan China, serta mengalami kekerasan fisik, kerap dimaki, dan tidak digaji.

Baca juga: Moratorium pengiriman ABK WNI tidak akan hentikan akar permasalahan
Baca juga: Bamsoet: usut tuntas dugaan ABK Indonesia disiksa di kapal China


Hal tersebut mengakibatkan suaminya melompat ke laut ketika diketahui bahwa kapal tempatnya bekerja melewati perairan Republik Indonesia. Setelah lama terombang-ambing di laut, suaminya diselamatkan nelayan setempat.

Sebelumnya, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mengingatkan terus bertambahnya pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) yang menjadi korban kerja paksa di kapal ikan asing berbendera China.

Koordinator DFW Indonesia Muh Abdi Suhufan mengungkapkan bahwa laporan terbaru menyebutkan bahwa pada Jumat (5/6), ada dua orang awak kapal perikanan Indonesia atas nama Reynalfi dan Andri Juniansyah melompat dari kapal ikan China LU QIAN YUA YU 901 saat kapal melintasi Selat Malaka.

Abdi memaparkan, mereka melompat karena tidak tahan dengan perlakuan dan kondisi kerja diatas kapal yang sering mendapatkan intimidasi, kekerasan fisik dari kapten dan sesama ABK asal China. Setelah mengapung selama 7 jam, mereka akhirnya ditolong nelayan Tanjung Balai Karimun.

"Dugaan kerja paksa mengemuka setelah ditemukan adanya praktik tipu daya, gaji yang tidak dibayar, kondisi kerja yang tidak layak, ancaman dan intimidasi yang dirasakan Andri Juniansyah dan Reynalfi," ucapnya.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan bahwa kejadian ini merupakan insiden ke-6 dalam kurun waktu delapan bulan terakhir ini.

"Dalam periode November-Juni 2020 kami mencatat 30 orang awak kapal Indonesia yang menjadi korban kekerasan dalam bekerja di kapal China dengan rincian 7 orang meninggal, 3 orang hilang dan 20 orang selamat," kata Abdi.

Baca juga: Ada korban lagi, Legislator: Perhatikan nasib ABK di kapal ikan asing
Baca juga: DFW: ABK jadi korban kerja paksa kapal ikan asing bertambah


 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2020