Lembaga Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dalam riset terbarunya menemukan lima alasan kecemasan ekonomi melampaui kecemasan terpapar COVID-19, antara lain meluasnya berita kisah sukses banyak negara yang mampu mengendalikan virus corona walau belum menemukan vaksin.Ini bukan survei opini publik, melainkani riset eksperimental untuk menggali lebih detail kekhawatiran responden.
Peneliti LSI Denny J.A., Rully Akbar, ketika menyampaikan hasil riset lembaganya lewat video conference di Jakarta, Jumat, menyebutkan sejumlah negara yang sukses, yakni Selandia Baru, Jerman, Hong Kong, dan Korea Selatan.
"Walau vaksin belum tersedia, contoh konkret negara yang sukses itu sudah cukup mengurangi kecemasan atas virus," kata Rully Akbar.
Baca juga: Calon vaksin COVID-19 asal China menjanjikan saat uji coba hewan
Riset dengan menganalisis data sekunder dari berbagai sumber dari dalam dan luar negeri.
Ia lantas menyebut tiga sumber data untuk menggambarkan beralihnya bentuk kecemasan, yakni: Pertama, data Galup Poll (2020) yang merupakan lembaga survei opini publik berpusat di Amerika Serikat.
Kedua, data dari VoxPopuli Center, lembaga opini publik Indonesia. Pada tanggal 26 Mei—1 Juni 2020, lembaga ini melakukan survei telepon atas 1.200 responden. Hasilnya 25,3 persen publik khawatir terpapar virus corona. Namun, lebih besar lagi, sekitar 67,4 persen publik khawatir akan kesulitan ekonomi atau bahkan kelaparan.
Ketiga, riset eksperimental yang dilakukan Denny J.A. dan Eriyanto (dosen UI) pada bulan Maret—Juni 2020. "Ini bukan survei opini publik, melainkani riset eksperimental untuk menggali lebih detail kekhawatiran responden," katanya menjelaskan.
Rully menyebutkan alasan kedua kecemasan ekonomi, yakni meluasnya kemampuan protokol kesehatan dalam mengurangi tingkat pencemaran virus corona. Social distancing, cuci tangan, memakai masker. Tiga cara paling populer dalam protokol kesehatan itu terbentuk pesan kuat walau belum menemukan vaksin, manusia punya alat lain untuk melindungi diri.
Baca juga: Pemerintah waspadai potensi wabah COVID-19 gelombang kedua
Alasan ketiga, di sisi lain, tabungan ekonomi umumnya publik luas makin menipis. Makin lama berlakunya pembatasan sosial, ditutupnya aneka dunia usaha, makin berkurang kemampuan ekonomi rumah tangga. Pada saat kecemasan atas terpapar virus corona menurun, kecemasan atas kesulitan ekonomi meningkat.
Alasan keempat, jumlah warga yang secara konkret terkena kesulitan ekonomi jauh melampaui jumlah warga yang terpapar virus corona. Menaker melaporkan jumlah PHK ditambah yang dirumahkan hingga Juni 2020 sekitar 1,9 juta orang.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melaporkan jumlah yang di PHK mencapai 7 juta orang. Hingga 11 Juni 2020, dari data Worldometer, yang terpapar virus corona di Indonesia sekitar 35.000 orang, sedangkan yang meninggal sekitar 2.000 orang.
"Jika dibandingkan yang terpapar virus ekonomi (PHK, dirumahkan) dengan yang terpapar virus corona, yaitu 7 juta berbanding 35.000. Dengan kata lain, yang terpapar virus ekonomi 200 kali lebih banyak dibandingkan yang terpapar virus corona. Wajar saja jika kecemasan atas kesulitan ekonomi memang lebih masif," kata Rully menerangkan.
Baca juga: Pengamat: Sembilan sektor yang akan dibuka penting bagi perekonomian
Baca juga: 56 hari tanpa kasus COVID-19, Vietnam pacu perekonomian lewat insentif
Alasan kelima, hingga Juni 2020, makin hari grafik yang terpapar, apalagi yang meninggal karena virus corona, makin landai dan menurun. Sebaliknya, grafik kesulitan ekonomi, diukur dari yang di-PHK, yang mengambil pesangon bertambah dari bulan ke bulan.
Grafik ini, kata Rully, ikut juga membuat kecemasan atas terpapar virus corona melemah, sementara kecemasan atas virus ekonomi meninggi.
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020