Berbagai kontroversi dalam RUU itu yang akhirnya menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan antar partai politik, masing masing memiliki pandangan yang berbeda misalnya terkait ambang batas parlemen karena menyangkut lolos atau tidak parpol di parlemen.
Polemik sudah terlanjur mengemuka di kalangan masyarakat dan parpol padahal saat ini belum ada kepastian kapan RUU tersebut dibahas karena draf resmi belum ada.
Baca juga: Partai Gelora: Pelaksanaan Pileg-Pilpres serentak harus dikaji ulang
Ketua Komisi II DPR, Ahmad Tandjung,menjelaskan sampai saat ini belum ada draf resmi RUU Pemilu yang diajukan Komisi II DPR. Karena itu menurut dia, draf yang beredar saat ini merupakan hasil yang dibuat oleh tim yang dibentuk Komisi II DPR pada dua masa sidang yang lalu, terdiri dari Tenaga Ahli Komisi II DPR dan Badan Keahlian DPR (BKD).
Ia mengatakan TA Komisi II DPR dan BKD sudah mempresentasikannya satu kali dalam Rapat Internal Komisi II DPR, dan dibahas sekali oleh pimpinan komisi bersama seluruh Ketua Kelompok Fraksi sebelum masa reses atau tepatnya pada 6 Mei 2020. Menurut dia, dalam pembahasan tersebut, banyak sekali poin-poin yang belum disepakati pimpinan Komisi II DPR dan Kapoksi.
Baca juga: Golkar: Ambang batas parlemen 7 persen ciptakan multipartai sederhana
Karena itu, naskah rancangan yang telah disampaikan tersebut telah disampaikan kepada masing-masing fraksi dan akan dimintai pendapat mini fraksi terkait draf RUU Pemilu tersebut yaitu paling lambat Senin (8/6). Ia mengatakan pandangan mini fraksi itu akan ditinjau oleh TA Komisi II DPR dan dibahas di masa sidang mendatang yang akan dimulai pada 15 Juni 2020.
Naskah rancangan RUU Pemilu yang beredar di kalangan masyarakat merupakan naskah rancangan yang dibahas antara Komisi II DPR dengan BKD pada 6 Mei lalu. Dalam draf RUU Pemilu pertanggal 6 Mei itu, ada 741 pasal dalam RUU Pemilu yang mengatur banyak hal, mulai dari sistem keserentakan pemilu hingga sanksi pidana bagi para pelanggar pemilu.
Baca juga: F-Gerindra cenderung dukung sistem proporsional terbuka
Dari 741 pasal tersebut, ada beberapa poin-poin krusial yang menjadi perdebatan dalam RUU itu, misalnya terkait sistem pemilu, selama ini Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka sehingga calon anggota legislatif yang lolos tergantung pada pilihan pemilih bukan berdasarkan nomor urut.
Namun dalam naskah rancangan RUU Pemilu disebutkan bahwa sistem pemilu yang akan digunakan adalah proporsional tertutup.
Hal itu tertuang dalam pasal 206 ayat 1-3, yang disebutkan bahwa ayat (1) Pemilu untuk memilih anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup; ayat (2) Sistim proporsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem yang menggunakan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik; ayat (3) Pemungutan suara Pemilu anggota DPR dilaksanakan bersamaan dengan pemungutan suara Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden Pemilu serta Pemilu anggota DPD.
Baca juga: DPR: Keserentakan Pemilu mengacu Putusan MK
Fraksi yang mengusulkan sistem tertutup adalah Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Golkar, lalu pengusung sistem pemilu terbuka adalah Fraksi Partai NasDem, Fraksi PKB, Fraksi PKS, dan Fraksi Partai Demokrat. Sementara itu Fraksi PAN dan Fraksi Partai Gerindra cenderung mendukung proporsional tersebut.
Isu lain yang menjadi pembahasan dalam RUU tersebut ada terkait keserentakan pemilu di tingkat nasional untuk memilih calon anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden, dalam RUU Pemilu hal itu tertuang dalam pasal 201, pasal 206 ayat 3, dan pasal 220.
Pasal 201menyebutkan bahwa pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemungutan suara Pemilu Anggota DPR dan Pemilu Anggota DPD.
Baca juga: Wakil rakyat: Proporsional terbuka hindari oligarki partai
Pada pasal 206 ayat 3 menyebutkan bahwa Pemungutan suara Pemilu Anggota DPR dilaksanakan bersamaan dengan pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pemilu serta Pemilu anggota DPD; dan Pasal 220 menyebutkan Pemungutan suara Pemilu anggota DPD dilaksanakan bersamaan dengan pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pemilu serta Pemilu anggota DPR.
Sementara itu untuk pemilu di tingkat daerah diatur dalam pasal 226 yang menyebutkan pemungutan suara Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur
dilaksanakan bersamaan dengan pemungutan suara Pemilu anggota DPRD Provinsi, Pemilu Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota dan Pemilu anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Baca juga: Menkumham akan hadapi uji materi UU Pemilu
Keserentakan Pemilu tersebut tentunya harus mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang di dalamnya memuat enam varian model Pemilu serentak untuk digagas pengubah UU sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keenam varian tersebut yaitu:
Pertama, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan presiden.
Kedua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota.
Ketiga, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota.
Keempat, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan wali kota.
Kelima, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak provinsi untuk memilih DPRD provinsi dan gubernur, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota.
Keenam, pilihan-pilihan keserentakan lain sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
Namun MK juga menyebutkan bahwa dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang
perlu mempertimbangkan beberapa hal yaitu:
Pertama, pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum.
Kedua, kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model itu dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan;
Ketiga, pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas;
Keempat, pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan Kelima tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum;
Isu lain yang menjadi perdebatan adalah terkait besaran ambang batas parlemen atau parliamentary threshold, yang dalam RUU Pemilu jumlahnya sebesar tujuh persen. Hal itu disebutkan dalam pasal 217 yaitu "Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit tujuh persen dari jumlah suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.
Usulan ambang batas parlemen sebesar tujuh persen itu diusulkan Fraksi NasDem dan Fraksi Golkar, lalu Fraksi PKB setuju dengan besaran tersebut.
Untuk usulan ambang batas parlemen sebesar lima persen untuk DPR, empat persen untuk DPRD Provinsi, dan tiga persen untuk DPRD Kabupaten/Kota. Jadi berjenjang di nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, diajukan PDI Perjuangan.
Usulan ambang batas parlemen sebesar empat persen untuk DPR dan 0 persen untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang diusulkan PPP, PAN. Lalu Fraksi PKS menyarankan agar ambang batas parlemen sebesar lima persen dan disamakan dengan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden.
Pada Pemilu 1999, kita mengenal electoral threshold atau ambang batas peserta pemilu yang menjadi syarat minimal harus diperoleh untuk untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya.
Di dalam UU Nomor 3/1999 disebutkan bahwa parpol dapat mengikuti pemilu berikutnya jika memiliki dua persen dari jumlah kursi DPR atau sekurang-kurangnya tiga persen jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di setengah jumlah provinsi dan setengah jumlah Kabupaten/Kota.
Lalu peraturan mengenai ambang batas peserta pemilu berlanjut pada Pemilu 2004 dengan UU Nomor 12/2003 yang menyebutkan partai politik dapat mengikuti pemilu berikutnya apabila memperoleh minimal tiga persen jumlah kursi DPR, empat persen jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar di setengah jumlah provinsi di Indonesia, dan empat persen jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di setengah jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Sementara itu, parliamentary threshold mulai diterapkan pada Pemilu 2009, saat itu parpol harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan ini tidak berlaku untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.
Di Pemilu 2014, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5 persen dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD namun setelah digugat 14 partai politik, MK kemudian menetapkan ambang batas 3,5 persen tersebut hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD. Ketentuan ambang batas parlemen kembali diberlakukan untuk Pemilu 2019 melalui UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, yaitu naik menjadi empat persen.
Isu krusial RUU Pemilu yang menjadi perdebatan adalah mengenai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden atau presidential threshold, dalam Pasal 187 ayat (1) disebutkan bahwa pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam pasal 187, diusulkan Partai Politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Aturan tersebut sama dengan yang diterapkan pada Pemilu 2019, namun beberapa fraksi ada yang menginginkan agar presidential treshold tersebut berubah yaitu minimal 10 persen suara nasional dan sekitar 15 persen suara sah nasional.
Fraksi PAN bahkan cenderung mengusulkan agar "presidential threshold" dihapuskan atau 0 persen, lalu Fraksi PKS meminta agar ambang batas pencalonan presiden disamakan dengan ambang batas parlemen yaitu sebesar lima persen.
Sementara itu terkait jumlah alokasi kursi per-daerah pemilihan atau district magnitude, dalam RUU Pemilu dibuat sebesar 3-8 kursi untuk DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Besaran kursi per-dapil itu berbeda dibandingkan Pemilu 2019 yaitu sebesar 3-10 kursi.
Dalam RUU Pemilu, aturan tersebut tertuang dalam pasal 208 ayat 2 yaitu setiap daerah pemilihan Pemilu anggota DPR memiliki alokasi kursi setiap daerah pemilihan paling sedikit tiga kursi dan paling banyak delapan kursi.
Lalu di pasal 238 ayat 2 disebutkan bahwa setiap daerah pemilihan Pemilu anggota DPRD Provinsi memiliki alokasi kursi setiap daerah pemilihan paling sedikit tiga kursi dan paling banyak delapan kursi; dan di pasal 261 ayat 2 disebutkan alokasi kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota paling sedikit tiga kursi dan paling banyak delapan kursi.
Beberapa poin-poin penting tersebut tentu menjadi perhatian masyarakat untuk diberikan masukan kepada DPR sehingga pelaksanaan Pemilu ke depan semakin baik dengan menjunjung prinsip jujur, adil dan langsung. Itu penting agar kedaulatan rakyat dalam menentukan pilihannya dapat terjamin sehingga prinsip kedaulatan memilih dalam pemilu dapat terwujud.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020