Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
"NasDem tidak dapat mendukung kelanjutan RUU itu ke tahap pembahasan selanjutnya, sepanjang belum dicantumkannya TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 sebagai salah satu konsideran di dalam RUU tersebut," kata Ahmad M. Ali dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Hal itu dikatakan Ali menyikapi perkembangan di masyarakat yang menolak keberadaan RUU HIP misalnya yang terkini adalah sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahkan menyerukan penolakan terhadap RUU HIP sebab tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor 25/MPRS/1966 Tahun 1966.
Baca juga: Pemerintah menolak Pancasila diperas jadi Trisila
Baca juga: Din Syamsuddin nilai RUU HIP turunkan derajat Pancasila
Baca juga: Sekjen MUI minta Wapres ingatkan Pemerintah akan bahaya RUU HIP
Baca juga: Muhammadiyah kirim tim 'jihad' kawal RUU Haluan Ideologi Pancasila
Baca juga: Ansor: Jangan buru-buru bahas RUU HIP
Ali menjelaskan dari kacamata partainya, konsideran itu tetap harus dicantumkan dalam RUU HIP sebagai salah satu bentuk akomodasi kepentingan dan kedewasaan berpolitik DPR.
Namun Wakil Ketua Umum DPP Partai NasDem itu berharap agar semua pihak tidak terjebak dalam dikotomi antara Orde Lama dan Orde Baru terkait isu RUU itu.
"Alam kehidupan bangsa Indonesia hari ini adalah alam yang berbeda dengan keduanya (Orde Lama dan Orde Baru). Bagaimana pun RUU HIP adalah sebuah cara pandang terhadap Pancasila di abad ke-21 ini, jadi niat dan tujuannya baik," ujarnya.
Dia mengatakan, jika terjebak dalam pandangan dan tendensi semacam itu, maka hanya akan melahirkan "lingkaran setan" dan perdebatan tanpa ujung yang menghabiskan energi anak bangsa.
Menurut dia, ada suara-suara yang menyambut dan ada pula yang menolak, tentu hal seperti itu biasa di alam demokrasi tetapi akan sangat disayangkan jika terkait dasar dan falsafah kehidupan bernegara kita, berbagai suara dan pandangan yang beragam itu tidak mendapat perhatian dan diakomodasi dengan baik.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020