Stiker di pesan "whatsapp" tersebut dapat menimbulkan dua kesan: ironi dan humor. Ironi karena kedua mata Novel Baswedan mengalami kecacatan akibat bersentuhan dengan air keras sejak lebih dari 3 tahun lalu sehingga tidak mungkin lagi membelalakkan mata; humor karena tulisan "sudah kuduga" seolah-olah mengonfirmasi bahwa ia pun sudah memprediksi tuntutan rendah tersebut.
Dua orang anggota Polri aktif dari Satuan Gegana Korps Brimob Kelapa Dua Depok yaitu Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Utara untuk dihukum penjara selama 1 tahun penjara.
Menurut JPU, para terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke mata Novel. Keduanya disebut hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke badan Novel Baswedan tapi di luar dugaan ternyata mengenai mata yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen dan menyebabkan cacat permanen.
Karena unsur ketidaksengajaan itu, maka Ronny dan Rahmat tidak memenuhi dakwaan primer soal penganiayaan berat dari Pasal 355 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Keduanya dianggap memenuhi dakwaan subsider pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal 353 ayat (1) berbunyi "Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun" sedangkan pasal 355 KUHP ayat (1) menyebutkan "Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun".
Dalam surat tuntutan disebutkan kedua Ronny Bugis bersama-sama dengan Rahmat Kadi Mahulette tidak suka atau membenci Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Polri.
JPU Kejari Jakarta Utara mengatakan Ronny dan Rahmat menilai Novel seperti kacang lupa pada kulitnya karena Novel ditugaskan di KPK padahal dibesarkan di institusi Polri, sok hebat, terkenal dan kenal hukum sehingga menimbulkan niat untuk memberikan pelajaran kepada Novel dengan cara membuat Novel luka berat.
Jaksa juga menyampaikan sejumlah hal yang meringankan bagi Ronny dan Rahmat yaitu belum pernah dihukum, mengakui perbuatan, bersikap kooperatif dan mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun.
Baca juga: Novel Baswedan: Serangan level maksimal dituntut minimal
Sudah kuduga
Melanjutkan komentar setelah "sudah kuduga" dalam stiker WA, Novel menilai bahwa tuntutan ringan terhadap dua orang terdakwa yang melakukan penyiraman air keras terhadap dirinya memprihatinkan.
"Saya prihatin sebenarnya terhadap tuntutan itu. Mau dibilang apa lagi, kita berhadapan dengan gerombolan bebal," kata Novel.
Tuntutan 1 tahun penjara itu bahkan jauh lebih singkat dibanding waktu Polri menetapkan tersangka sejak peristiwa terjadi.
Penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan di depan Masjid Al-Ikhsan, dekat tempat tinggal Novel, terjadi pada 11 April 2017 sekitar pukul 05.10 WIB. Sedangkan Polri baru mengumumkan dua orang tersangka pelaku penyerangan pada 27 Desember 2019 yang disampaikan langsung oleh Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo.
"Di satu sisi saya tugasnya memberantas mafia hukum, tapi di satu sisi menjadi korban mafia hukum yang menyolok mata," tambah Novel.
Novel mengaku sejak awal tahu bahwa persidangan itu hanyalah formalitas.
"Dalam sidang ini begitu nekad, permasalahan di semua sisi terjadi dengan terang. Saya malah melihat bahwa Ini fakta hasil kerja Presiden Jokowi dalam membangun hukum selama ini," ungkap Novel.
Rusaknya sistem hukum di Indonesia, menurut Novel, membuat masyarakat sulit berharap untuk mendapat keadilan.
"Persekongkolan, kerusakan dan kebobrokan yang dipertontonkan dengan vulgar menggambarkan bahwa memang sedemikian rusaknya hukum di Indonesia. Hal lain yang perlu kita lihat adalah bagaimana masyarakat bisa berharap mendapatkan keadilan dengan keadaan demikian," ungkap Novel.
Memang sejak awal keduanya ditetapkan sebagai tersangka, Novel pun tidak berharap banyak terhadap proses hukum terhadap Ronny dan Rahmat.
"Saya seharusnya mengapresiasi kerja Polri, tapi keterlaluan bila disebut bahwa penyerangan hanya sebagai dendam pribadi sendiri dan tidak terkait dengan hal lain, apakah itu tidak lucu dan aneh? Saya tentu tidak bisa menilai saat ini, tapi saya sekarang menunggu proses lanjutannya saja," kata Novel saat dimintai komentarnya pada 27 Desember 2019, sesaat setelah penetapan dua orang tersangka penyerangnya.
Kekhawatiran dan kecurigaan Novel untuk mendapatkan keadilan akhirnya terbukti. Sejak sidang perdana pada 19 Maret 2020 ada sejumlah kejanggalan, Novel sendiri hadir sebagai saksi korban pada 30 April 2020 dan menyampaikan langsung keberatannya mengenai dakwaan dan proses persidangan.
"Ada satu hal yang menarik yang ingin saya sampaikan yang mulia. Saya mendengarkan pemberitaan dakwaan yang disampaikan penuntut bahwa air yang disiramkan itu air aki. Saya mempunyai beberapa bukti-bukti yang memastikan itu bukan air aki yang mulia," kata Novel dalam sidang 30 April 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Novel meyakinkan bahwa air keras yang digunakan bukanlah air aki karena merusak banyak organ tubuhnya terutama beberapa bagian vital seperti kornea mata hingga rongga hidung.
Ia bahkan mencontohkan kondisi matanya yang saat ini bahkan tidak dapat melihat wajah majelis hakim dengan mata kanannya yang masih memiliki kornea aktif meski kapasitasnya di bawah 50 persen sedangkan mata kirinya sudah buta 100 persen karena terkena air keras.
Hal lainnya yang menguatkan bahwa air itu bukanlah air aki adalah kesaksian para tetangganya yang menyebutkan cairan itu memiliki bau yang menyengat.
Tetangga Novel bernama Yatri Yahya, Rahmi dan Dino sempat mencium bau air keras yang menyengat dan bahkan Dino melihat gelas bekas air keras dan mencium baunya.
Dalam dakwaan (dan tuntutan) disebutkan bahwa cairan yang disiramkannya ke wajah Novel adalah air aki atau H2SO4 (asam sulfat). Terdakwa Rahkmat Kadir pun membantah kesaksian Novel dan tetap berpendapat bahwa cairan yang ia siramkan adalah asam sulfat alias air aki.
Kesaksian lain yang disampaikan Novel namun tidak dicantumkan dalam surat dakwaan adalah Novel mengaku sebelum ia diserang, sekitar 2 pekan sebelumnya ada orang yang mengamat-amati rumahnya. Novel menyebutkan bahwa ia telah melaporkan hal tersebut langsung kepada Kapolda Metro Jaya saat itu Komjen Pol M Iriawan.
Novel pun mengatakan dirinya hingga saat ini belum menemukan korelasi motif sakit hati Ronny Bugis dan Rahmat Kadir atas penyiraman air keras terhadap dirinya terkait dengan kasus-kasus korupsi di Kepolisian selama ia menjabat sebagai penyidik KPK seperti perkara korupsi E-KTP, simulator SIM maupun kasus-kasus lainnya.
Terhadap kejanggalan-kejanggalan proses persidangan tersebut, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga sudah menyerahkan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Sejumlah hal yang disampaikan dalam Amicus Curiae itu adalah pertama, dakwaan bertolak belakang dengan kesimpulan penyelidikan yang sebelumnya dilakukan oleh tim gabungan bentukan Polri sebab tim gabungan menegaskan bahwa ada keterkaitan antara serangan terhadap Novel dengan perkara-perkara yang sedang ia tangani.
Kedua, ada beberapa permasalahan dalam proses penyelidikan dan penyidikan seperti yang disampaikan Komnas HAM yaitu tidak cukup memetakan saksi kunci dan barang bukti penting, belum pernah memeriksa Kapolda Metro Jaya saat itu M Iriawan, tidak mendalami alasan dan latar belakang yang mendalam tentang keberadaan orang-orang asing di sekitar kediaman Novel, tidak adanya penyitaan atas telpon genggam milik "orang-orang asing" itu, tidak berhasil mengungkap nomor-nomor telepon dan materi komunikasi yang patut dicurigai, tidak meminta bantuan ahli Puslabfor untuk menelaah seluruh rekaman video CCTV.
Ketiga, dakwaan mengaburkan fakta serangan dapat mengancam nyawa Novel sebab banyak kasus terjadi di Indonesia yang terkait dengan penyiraman air keras menimbulkan akibat serius, yaitu meninggal dunia.
Keempat, sketsa awal yang dibuat Polri soal penyerang Novel berbeda dengan wajah kedua terdakwa.
Kelima, ada iga barang bukti yang tidak dihadirkan secara utuh dalam proses pembuktian di persidangan yaitu botol yang digunakan untuk membawa air keras, baju gamis milik Novel Baswedan, sampai CCTV di sekitar rumah korban.
Keenam, keanehan motif penyerangan hanya dendam pribadi sebab Novel sendiri tidak pernah berkomunikasi atau interaksi lainnya baik dalam berkaitan hubungan pribadi maupun dinas.
Ketujuh, dugaan adanya konflik kepentingan pendampingan hukum karena kedua terdakwa secara khusus didampingi oleh penasihat hukum yang juga berasal dari Polri.
Baca juga: Novel Baswedan akan tetap protes terhadap proses persidangan
Tetap protes
Terhadap kondisi yang "tidak menguntungkan" dirinya sebagai korban, Novel secara khusus didampingi oleh penasihat hukum yang juga berasal dari Polri.
"Bagi saya yang penting adalah saya akan tetap berikhtiar untuk berbuat, melakukan protes-protes sebagaimana mestinya dengan cara-cara yang benar karena apabila nanti putusan (majelis hakim) juga berjalan seperti sekarang maka itulah potret dari penegakan hukum di Indonesia dan ini harus menjadi keprihatinan kta semua," kata Novel.
Novel mengaku pernyataannya itu tidaklah bentuk emosinya namun bentuk keinginan menegakkan keadilan.
"Saya melihat ini hal yang harus disikapi dengan marah. Kenapa? Karena ketika keadilan diinjak-injak, norma keadilan diabaikan ini tergambar bahwa hukum di negara kita nampak sekali compang-camping," ungkap Novel.
Ia juga mengajak agar masyarakat tetap berjuang untuk memberantas korupsi dan tetap berani serta konsisten.
"Karena orang-orang yang terlibat dalam perilaku korupsi, koruptor dan kawan-kawannya mereka berharap kita semua takut dengan kejadian ini. Kita semua jadi melemah dan kemudian mereka bisa dengan semaunya sendiri merampok dan menjarah uang rakyat, harta dari bangsa dan negara. Saya kira hal itu yang menjadi 'concern' saya," ungkap Novel.
Atas proses peradilan tersebut, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan KPK berharap majelis hakim dapat memutuskan dengan seadil-adilnya yaitu dengan menjatuhkan hukuman maksimal sesuai dengan kesalahan dan perbuatan yang terbukti serta mempertimbangkan rasa keadilan publik.
"Kami telah mendengar tuntutan JPU yang menuntut para terdakwa dengan hukuman penjara selama 1 tahun, KPK memahami kekecewaan Novel Baswedan sebagai korban terkait tuntutan yang rendah dan pertimbangan-pertimbangan serta amar dalam tuntutan tersebut," kata Ali.
Padahal menurut Ali, penyerangan terhadap Novel adalah karena ia menjalankan tugasnya saat menangani kasus korupsi.
"Kami menyerukan kembali pentingnya perlindungan bagi para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya," ungkap Ali.
Tidak ketinggalan masyarakat sipil juga meminta agar majelis hakim tidak larut dalam sandiwara hukum yang mencederai rasa keadilan karena tuntutan minimal JPU.
"Tuntutan minimum tersebut juga tidak berkesuaian dengan hukum yang ada, kami meminta hakim untuk mempertimbangkan fakta dan hukum secara cermat, dengan mengabaikan tuntutan jaksa, dan menghukum pelaku dengan Pasal 355 ayat (1) dengan ancaman pidana 12 tahun penjara yang tercantum dalam dakwaan pertama jaksa penuntut umum," kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Giri Ahmad Taufik.
Argumentasi JPU yang menyatakan ketidaksengajaan pelaku untuk menyiram mata Novel, menurut Giri, merupakan penghinaan terhadap akal sehat dan doktrin hukum pidana universal terkait kesengajaan, yang telah dikembangkan dan diajarkan di fakultas hukum.
Kesengajaan seharusnya dibuktikan dengan unsur mengetahui dan menghendaki sedangkan unsur perencanaan dalam proses tindak pidana dan pengunaan air keras telah mengindikasikan adanya kesadaran dari pelaku bahwa menyiramkan air keras kepada seseorang pasti akan menyebabkan luka berat pada tubuh.
Artinya, tuntutan dengan pidana rendah telah memberikan preseden yang kontraproduktif terhadap perlindungan aparat penegak hukum Indonesia yang berpotensi melahirkan kekerasan-kekerasan lainnya bagi aparat penegak hukum, utamanya pegawai KPK.
Dalam 2-3 minggu lagi, masyarakat Indonesia akan menyaksikan sendiri apakah majelis hakim yang mengadili perkara tersebut di bawah kepemimpinan hakim Djuyamto yang juga humas PN Jakarta Utara itu dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat atau vonisnya pun ternyata "sudah kuduga".
Baca juga: Firli Bahuri harap hakim beri putusan adil kasus penyerangan Novel
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020