Kementerian Dalam Negeri menegaskan hanya sebatas memberikan akses untuk verifikasi data kependudukan kepada lembaga financial technology (fintech), bukan memberikan data kependudukan.Yang sebenarnya adalah lembaga yang disebut dengan 'fintech' ini bekerja sama dengan Dukcapil Kemendagri dalam rangka verifikasi data kependudukan. Jadi, kami membantu berbagai lembaga untuk verifikasi data
"Ada beberapa pihak mencurigai bahwa pemberian hak akses pemanfaatan data kependudukan ini dapat menyebabkan kebocoran data kependudukan dan mempertanyakan logika yang mendasari pemberian hak akses pemanfaatan data kependudukan oleh Kemendagri," kata Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh, dalam pernyataan tertulisnya, di Jakarta, Senin.
Sebelumnya, Ditjen Dukcapil Kemendagri telah menandatangani perjanjian kerja sama (PKS) dengan 13 perusahaan swasta, dan tiga di antaranya, yakni PT Pendanaan Teknologi Nusa, PT Digital Alpha Indonesia (UangTeman) dan PT Ammana Fintek Syariah (Ammana) bergerak di bidang penyedia jasa pinjaman (fintech).
Baca juga: Ditjen Dukcapil ganti dokumen kependudukan yang rusak akibat banjir
Berkaitan dengan isu yang menyatakan Kemendagri memberikan data kependudukan kepada perusahaan "fintech", Zudan menegaskan isu tersebut tidak benar, sebab perusahaan tersebut sudah mendapatkan data dari nasabahnya terus dicocokkan dan diverifikasi dengan data resmi kependudukan yang dimiliki Kemendagri.
"Yang sebenarnya adalah lembaga yang disebut dengan 'fintech' ini bekerja sama dengan Dukcapil Kemendagri dalam rangka verifikasi data kependudukan. Jadi, kami membantu berbagai lembaga untuk verifikasi data," tuturnya.
Adapun, pemberian hak akses verifikasi pemanfaatan data kependudukan sesungguhnya berlandaskan pada amanat Pasal 79 dan Pasal 58 UU Nomor 24/2013 tentang Perubahan UU Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).
Menurut dia, Kemendagri sebagai penyelenggara pemerintahan juga ingin membangun industri keuangan yang sehat sehingga bisa mencegah "fraud", mencegah kejahatan penipuan, dan pemalsuan sehingga industri keuangan bisa tumbuh dengan baik.
"Dengan verifikasi data kependudukan ini Insya Allah tidak akan ada lagi nasabah fiktif maupun peminjam fiktif karena datanya langsung dicek dengan data Dukcapil Kemendagri," ucapnya.
Baca juga: Dirjen Dukcapil: publik harus miliki kesadaran rekam KTP-e
Lebih lanjut, Zudan menjelaskan bahwa hak akses verifikasi data yang diberikan kepada perusahaan "fintech" tersebut tidak memungkinkan untuk dapat melihat secara keseluruhan ataupun satu persatu data penduduk.
"Namun, hak akses ini hanya memungkinkan untuk dilakukannya verifikasi kesesuaian atau ketidaksesuaian antara data-data yang diberikan seorang penduduk yang akan menjadi calon nasabah 'fintech' dengan data yang ada pada database kependudukan," ujarnya.
Sebagai ilustrasi, seorang penduduk bernama Budi ingin melakukan pinjaman daring (online) di salah satu dari ketiga perusahaan fintech tersebut, maka Budi memberikan data dirinya berupa nomor induk kependudukan (NIK), nama, tempat dan tanggal lahir dan sebagainya (yang disyaratkan) kepada salah satu perusahaan melalui aplikasi pinjaman daring.
Data diri, kata dia, sebagaimana telah diberikan Budi tersebut kemudian dilakukan verifikasi oleh perusahaan dengan database kependudukan Kemendagri, dan dari proses verifikasi tersebut, kemudian perusahaan aplikasi pinjaman daring akan mendapatkan respon berupa notifikasi "Sesuai" atau "Tidak Sesuai".
Selain itu, kata Zudan, perusahaan "fintech" atau pinjaman "online" harus memenuhi persyaratan yang sangat ketat untuk bisa mendapatkan kerja sama dengan Dukcapil Kemendagri, salah satunya adalah lembaga pinjaman online wajib mendapatkan izin dan rekomendasi dari OJK.
"Jadi, kalau tidak ada izin OJK kami tidak akan memproses perjanjian kerja sama dengan Dukcapil Kemendagri untuk verifikasi pemanfaatan data kependudukan," ucapnya menegaskan.
Zudan menjelaskan kerja sama terkait akses verifikasi data kependudukan sebenarnya sudah dilakukan sejak 2013 dengan jumlah total hingga saat ini sebanyak 2.108 lembaga.
"Yang terbanyak adalah perbankan berjumlah 1.177 lembaga, perguruan tinggi berjumlah 462 lembaga, pasar modal 124 unit, dan 45 rumah sakit," tuturnya.
Baca juga: Dukcapil hentikan penerbitan KTP-e WNA sampai pemilu selesai
Baca juga: Asosiasi Fintech: Normal baru momentum perkuat kolaborasi
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020