"Sebenarnya ada satu hal yang tidak banyak disorot yaitu manajemen kasus. Ini merujuk kepada bagaimana kita memanajemen Orang Dalam Pemantauan dan Pasien Dalam Pengawasan," kata dia di Jakarta, Rabu.
Ia melihat lambatnya pemeriksaan spesimen ODP dan PDP di berbagai fasilitas kesehatan mengakibatkan lonjakan kasus COVID-19 di Tanah Air.
"Angkanya mengerikan sebetulnya, angka kematian ODP dan PDP di Jakarta kalau kita perhatikan bisa delapan hingga 10 kali lipat lebih tinggi dari pada angka kematian pasien positif COVID-19," ujarnya.
Baca juga: Ahli Epidemiologi: Perubahan perilaku kunci hadapi normal baru
Baca juga: Normal baru, pemerintah perlu perkuat aktivitas perekonomian rakyat
Bahkan, ujarnya, jika angka ODP dan PDP dirata-ratakan secara nasional mencapai sekitar 3,5 kali lebih besar dari pada angka kematian di kasus konfirmasi COVID-19.
Ia menilai hal itu bisa terjadi akibat kecenderungan berbagai pihak terlalu fokus pada penanganan kasus konfirmasi, namun kurang maksimal dengan ODP maupun PDP.
Padahal ODP dan PDP sudah memiliki gejala ringan maupun serius, namun perhatian pada dua masalah tersebut dinilainya kurang begitu maksimal.
"Saya kira sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian agak serius lah kepada manajemen kasus untuk ODP dan PDP," katanya.
Terkait kebijakan normal baru, lulusan University of Newcastle tersebut menilai Indonesia pada dasarnya belum siap untuk menerapkan normal baru.
Bahkan, ia menilai kebijakan tersebut terkesan agak dipaksakan dengan berbagai pertimbangan salah satunya terkait keadaan ekonomi nasional.*
Baca juga: Pemerintah tingkatkan program pemulihan ekonomi antisipasi normal baru
Baca juga: Penumpang KRL cetak angka tertinggi selama PSBB dan PSBB transisi
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020