Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan sistem ekonomi Pancasila mempunyai peluang mengambilalih sistem ekonomi dunia yang tengah terkoreksi karena pandemi COVID-19.Inilah peluang ekonomi Pancasila ambil alih sistem ekonomi global
Dalam webinar dan bedah buku "Ekonomi Pancasila dalam Pusaran Globalisasi", Sabtu, Bamsoet, panggilan akrabnya, menjelaskan sistem ekonomi Pancasila merupakan sistem khas bangsa di luar sistem ekonomi yang berlaku di luar.
"Virus (COVID-19) ini telah mengoreksi globalisasi beserta seluruh tatanan ekonomi dunia menuju tatanan ekonomi baru. Bila globalisasi runtuh, maka ekonomi lokal otomatis ambil haluan. Inilah peluang bagi kita untuk mengambilalih haluan. Bicara ekonomi lokal, tentu tidak bisa lepas dari sistem ekonomi Pancasila. Inilah peluang ekonomi Pancasila ambil alih sistem ekonomi global," jelasnya.
Baca juga: Ketua MPR apresiasi langkah pemerintah tunda bahas RUU HIP
Kendati demikian, ia meragukan sistem ekonomi Pancasila bisa mengatasi tantangan yang dihadapi bangsa saat ini, seperti ketergantungan Indonesia terhadap impor.
Politisi Partai Golkar itu menjelaskan Indonesia tengah dihadapkan pada kenyataan bahwa harga produksi pertanian impor, utamanya komoditas pangan, lebuh murah dari harga produk dalam negeri.
Hal itu menyebabkan ketergantungan terhadap pangan impor semakin besar.
"Ini kondisi yang mengkhawatirkan mengingat Indonesia punya potensi besar dan sudah terbukti bisa memenuhi kebutuhan pangan atau swasembada," katanya.
Ketergantungan Indonesia terhadap produk impor, lanjut Bamsoet, terus memprihatinkan sejak 2010 di mana hingga 2013 setiap tahunnya Indonesia mengimpor separuh kebutuhan garam nasional atau sekitar 1,5 juta ton.
"Padahal, laut itu bagian terbesar Indonesia," imbuhnya.
Impor komoditas pangan pun meluas termasuk kedelai, kacang tanah, bawang, daging, susu hingga buah dan sayur. Pada 2017-2018, Indonesia pun menjadi importir gula terbesar dunia, dengan hampir 4,5 juta ton.
"Konsumsi gula impor kita mengalahkan China yang hanya impor 4,2 juta ton padahal penduduk China itu satu miliar jiwa, tapi konsumsi gula impor kita mengalahkan China," katanya.
Senada dengan Bamsoet, peneliti senior Indef Didin Damanhuri, salah satu penulis buku, menjelaskan era pandemi COVID-19 jadi peluang bagi negara untuk mempancasilakan ekonomi dengan struktur berkeadilan, tidak merusak alam dan lebih memecahkan masalah ketimpangan.
Sementara itu, Ahmad Erani Yustika, yang juga menulis buku tersebut, mengatakan pilar-pilar globalisasi memang bertabrakan dengan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, harus dibuka diskusi soal bagaimana memitigasi globalisasi yang sudah berjalan.
Lima pilar globalisasi yakni efisiensi produksi dan distribusi; peningkatan perdagangan internasional; operasi perusahaan lintas negara; ketergantungan terhadap ekonomi global; dan kebebasan pergerakan modal, barang dan jasa.
Dalam pandangan ekonomi Pancasila, lanjut Ahmad, efisiensi produksi dan distribusi harus ditekankan pada kesediaan berbagi sumber daya ekonomi/teknologi. Negara berkembang juga bukanlah sekadar pasar bagi komoditas negara maju.
Demikian pula operasi korporasi lintas negara tidak boleh mengganggu kedaulatan dan ruang ekonomi pelaku ekonomi domestik.
Globalisasi juga dipandang mengerdilkan upaya peningkatan kemandirian ekonomi masing-masing negara.
"Kebebasan pergerakan modal, barang dan jasa bisa dilakukan sepanjang menguntungkan seluruh pihak, utamanya untuk kepentingan domestik," katanya.
Baca juga: MPR: Perlu UU lindungi Pancasila dari ideologi bangsa lain
Baca juga: Ketua MPR dorong perempuan muda Indonesia aktif berorganisasi
Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020