Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes mengatakan pertimbangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan pergantian kabinet dalam bidang ekonomi harus berdasarkan evaluasi bukan karena adanya survei.Kalau ada menteri yang tidak punya sense of crisis, atau kerjanya lambat, 100 persen hak prerogratif presiden untuk mencopot...
Menurut Arya, melalui evaluasi tersebut Presiden bisa segera mengganti menteri yang masih lambat dalam proses pencairan anggaran dan tidak mampu menjalankan program pemerintah secara cepat.
"Kalau ada menteri yang tidak punya sense of crisis, atau kerjanya lambat, 100 persen hak prerogratif presiden untuk mencopot, dan tugas Presiden untuk membereskannya," ujar Arya dalam pernyataan di Jakarta, Rabu.
Namun, menurut dia, rencana untuk reshuffle kabinet itu sebaiknya menjadi pembicaraan internal istana, bukan menjadi konsumsi publik yang bisa menjadi bola liar.
Ia menambahkan saat ini masyarakat lebih membutuhkan adanya efektivitas program untuk mengatasi COVID-19, baik melalui penyaluran bantuan sosial, kartu prakerja maupun berbagai subsidi serta relaksasi.
Baca juga: Presiden dan Wapres belum pikirkan soal "reshuffle" kabinet
Sebelumnya Lembaga Survei Arus Survei Indonesia (ASI) pada Jumat (26/6) mempublikasikan hasil survei tingkat kepuasan kinerja para menteri.
Salah satu menteri yang menempati peringkat rendah dan mendapat rapor merah adalah Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP).
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai salah satu kebijakan yang membuat menteri KKP mendapat rapor merah adalah ekspor benih lobster.
Menurut dia, kebijakan ekspor tersebut masih belum dilakukan secara transparan, tidak sesuai tata kelola serta merugikan para nelayan.
Baca juga: Terkait reshuffle, Moeldoko justru sebut kabinet sedang kerja kencang
Pewarta: Satyagraha
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020