Syarief Hasan di Jakarta Kamis, mengatakan, iuran naik nyaris dua kali lipat dari besaran awal, kenaikan iuran tersebut tentunya akan semakin mempersulit dan membebani rakyat.
Iuran BPJS Kesehatan kata dia yang naik kembali pada 1 Juli 2020 menyiratkan kurang matangnya langkah pemerintah dalam mengatasi masalah BPJS.
Sebab, menurut dia persoalan defisit BPJS Kesehatan bukan hanya tentang iuran, tetapi juga tentang tata kelola. Puskesmas dan klinik sebagai fasilitas kesehatan tingkat I tidak mampu menurunkan tingkat rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat selanjutnya, sehingga 85 persen pembiayaan lari ke rumah sakit.
“Hal inilah yang menyebabkan pembengkakan pembiayaan BPJS sehingga menimbulkan defisit, menaikkan iuran tidak menjawab persoalan utama yang dialami oleh BPJS Kesehatan yakni tata kelola yang kurang baik," kata dia.
Baca juga: Peserta BPJS Kesehatan: Iuran boleh naik, asal pelayanan ditingkatkan
Baca juga: BPJS Kesehatan gunakan biometrik dan "machine learning" cegah fraud
Baca juga: BPJS Kesehatan gandeng YLKI optimalkan penanganan peserta JKN-KIS
Kenaikan ini malah akan menimbulkan masalah baru di tengah situasi genting akibat pandemik COVID-19. Bukan hanya itu, langkah menaikkan kembali BPJS Kesehatan menyiratkan kurangnya komitmen pemerintah dalam penghormatan hukum di Indonesia.
Hal itu karena, Mahkamah Agung sempat membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan setelah Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menggugat Perpres Nomor 75 Tahun 2019 menyangkut kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Sehingga berdasarkan putusan MA, iuran kembali seperti semula.
Namun, Pemerintah melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 kembali menaikkan iuran tersebut. Angka kenaikannya pun tidak jauh berbeda dengan kenaikan yang dibatalkan oleh MA.
Sehingga, langkah yang diambil tersebut terkesan tidak menghormati putusan lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia yang bersifat final dan mengikat.
"Pemerintah harusnya memberikan keteladanan dengan menghormati putusan MA dan memperhatikan aspirasi dan harapan rakyat Indonesia,” ujarnya
Syarief hasan mengingatkan kembali kepada pemerintah terkait Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
“Saat ini, banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan kesulitan hidup. Negara berkewajiban untuk melindungi kesehatan seluruh rakyat Indonesia, bukan malah semakin membebani rakyat dengan menaikkan iuran,” kata Syarief Hasan.
Ia mendorong Pemerintah untuk mencabut Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tersebut. Pemerintah harus membuat kebijakan yang pro terhadap rakyat Indonesia, bukan kebijakan yang kontra produktif.
"Terutama di masa pandemik COVID-19 yang belum jelas kapan akhirnya. Wujudkan amanat Pancasila dengan kehadiran negara untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat itu.
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020