• Beranda
  • Berita
  • Pakar menilai RUU HIP tak masalah jika untuk perkuat BPIP

Pakar menilai RUU HIP tak masalah jika untuk perkuat BPIP

6 Juli 2020 19:09 WIB
Pakar menilai RUU HIP tak masalah jika untuk perkuat BPIP
Pakar hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Muhammad Fauzan. (ANTARA/Sumarwoto)

Jaminan Pancasila sebagai Dasar Negara itu menjadi terjamin

Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) tidak masalah dibahas jika ditujukan untuk memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), kata pakar hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Prof Muhammad Fauzan.

"Kalau maksudnya untuk memperkuat BPIP, itu enggak masalah, memperkuat BPIP dengan undang-undang. Contohnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dasar legitimasinya adalah dengan undang-undang," katanya, saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.

Tetapi, kata dia, jangan kemudian pembahasan RUU HIP itu menafsirkan kembali Pancasila dengan memunculkan Trisila atau Ekasila.

"Itu kan sejarah yang sudah selesai, menurut saya. Itu kan sudah selesai tanggal 22 Juni 1945 yang diawali dengan pidatonya Muhammad Yamin dan sebagainya, kemudian dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945 oleh sembilan orang tokoh termasuk Pak Karno (Ir Soekarno, Red)," katanya lagi.

Ia mengatakan, persoalan Pancasila, Trisila atau Ekasila itu memang diungkapkan oleh Ir Soekarno, tapi begitu Panitia Sembilan terbentuk, rumusannya menjadi Pancasila.

"Jadi kalau menurut saya, RUU HIP ini enggak masalah kalau sepanjang untuk memperkuat kelembagaan BPIP, sehingga lembaga tersebut tidak hanya didasarkan pada keputusan presiden (keppres)," ujarnya pula.

Dia mengatakan jika BPIP didasarkan oleh keppres, suatu saat bisa bisa diganti dengan mudah sesuai selera presiden.

Dalam hal ini, kata dia, presiden yang akan datang dapat saja mengganti atau membubarkan BPIP melalui keppres.

Tetapi, jika lembaga negara itu berdasarkan amanat undang-undang, lanjut dia, perubahannya harus dilandasi oleh kesepakatan dua lembaga negara.

"Dengan demikian, BPIP itu posisinya menjadi lebih kuat kalau diatur dengan undang-undang. Jaminan Pancasila sebagai Dasar Negara itu menjadi terjamin karena ada lembaganya," katanya lagi.
Baca juga: Tim Kerja Pimpinan DPD keluarkan rekomendasi tolak RUU HIP


Lebih lanjut, Fauzan mengatakan DPR RI harus banyak mendengar suara masyarakat, sehingga tidak hanya berdasarkan bahwa permasalahan RUU HIP merupakan urusan lembaga legislatif itu.

Ia mengatakan berdasarkan undang-undang, DPR RI juga harus menyerap aspirasi masyarakat dalam membentuk peraturan perundang-undangan.

Menurutnya, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

"Kan jelas kegaduhan ini karena ada RUU HIP yang substansinya kembali mendiskusikan tentang Pancasila yang sebenarnya diskusi itu sudah ada pada zaman sebelum Pancasila disahkan sebagai Dasar Negara, minimal sebelum tanggal 22 Juni 1945, Piagam Jakarta," katanya lagi.

Dia mengakui saat itu Piagam Jakarta menimbulkan persoalan, sehingga ada tujuh kata yang dihapuskan dan menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Baca juga: Hasto tegaskan PDIP anti-komunisme dan sekulerisme


Menurut dia, hal itu merupakan kompromi para pendiri bangsa yang berpikir jauh ke depan agar bagaimana Indonesia tetap bersatu.

"Tapi kalau dalam RUU HIP itu berbicara tentang Trisila atau Ekasila dan sebagainya, ya berarti kembali kepada masyarakat," katanya pula.

Ia mengatakan jika nama RUU HIP diganti namun substansinya tidak berubah, akan tetap menimbulkan gejolak.

Disinggung mengenai wacana untuk tidak memidanakan pelanggar Pancasila karena belum ada undang-undang yang mengaturnya, Fauzan mengatakan Pancasila merupakan asas atau dasar filosofi, sehingga harus dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan.

"Makanya yang namanya Mahkamah Konstitusi itu bukan hanya menjaga undang-undang dasar, juga menjaga ideologi negara," kata dia.

Kendati demikian, dia mengakui pelanggaran terhadap asas atau dasar filosofi, sanksinya lebih kepada sanksi moral, bukan sanksi pidana.

"Misalnya, orang yang ideologinya komunis, kemudian sekarang sudah ada penolakan terhadap komunis, sebenarnya itu ya sanksi moral. Jadi, pelanggaran terhadap asas kan enggak bisa dipidana, itu kan paling sanksinya sanksi moral," ujarnya menegaskan lagi.
Baca juga: Moderasi berdasarkan Pancasila diperlukan hadapi perbedaan pandangan

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020