Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi, Kamis, Ketua AAK Bahrul Ilmi Yakup dkk mempersoalkan Pasal 35 ayat (1) dan (4) yang dinilai berlawanan dengan nilai desentralisasi serta bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), (2) dan (5) UUD NRI 1945.
Ada pun Pasal 35 ayat (1) berbunyi, "Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat", sementara ayat (5) berbunyi, "Pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pemerintah daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Baca juga: UU Minerba wajibkan pengusaha lakukan reklamasi pasca-tambang
Selain itu, pasal itu disebut berlawanan dengan materi muatan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur hanya urusan pemerintahan absolut yang menjadi urusan pemerintah pusat sepenuhnya dalam Pasal 9 ayat (2).
Urusan pemerintahan absolut meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama.
Selanjutnya, menurut pemohon, pasal itu juga berkonflik dengan norma dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
"Usaha pertambangan pastilah berkorelasi secara ketat dengan tata ruang, lingkungan hidup dan kehutanan," kata pemohon.
Berdasarkan dalil tersebut, pemohon mengusulkan agar perizinan berusaha dikeluarkan oleh pemerintah pusat atau provinsi sesuai kewenangan masing-masing.
Baca juga: Aktivis LH: UU Minerba ancam habitat gajah Sumatera di Bengkulu
Baca juga: Anggota DPRD Bengkulu sebut UU Minerba lemahkan kewenangan daerah
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020