Para aktivis lingkungan hidup di Bengkulu menilai Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) tahun 2020 yang baru saja disahkan mengancam habitat gajah Sumatera yang ada di daerah itu.
Kekhawatiran itu muncul dalam diskusi daring bertema "UU Minerba dan Masa Depan Gajah Sumatera" yang digagas Yayasan Kanopi Hijau Indonesia yang berbasis di Bengkulu dengan menghadirkan empat pembicara, Jumat (12/6).
Dosen Kehutanan Universitas Bengkulu Gunggung Senoaji dalam diskusi tersebut, mengatakan bentang alam di Taman Wisata Alam (TWA) Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara yang ditargetkan menjadi Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) koridor gajah akan semakin terancam keberlangsungannya dengan UU Minerba tersebut.
Baca juga: Anggota DPRD Bengkulu sebut UU Minerba lemahkan kewenangan daerah
Sebab, kata dia, di kawasan itu hanya TWA Seblat dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang merupakan wilayah konservasi dengan proteksi tinggi.
"Kalau penambang ingin membuka tambang di hutan produksi terbatas dan diberikan izin oleh pusat, sedangkan pusat tidak tahu kondisi di lapangan, kalau izin keluar, maka habislah," kata Gunggung.
Ia mencontohkan tambang batu bara milik PT Injatama, walaupun tidak dalam kawasan, dulunya gunung sudah dikeruk menjadi danau sedalam 40 meter, setelah itu tidak ada reklamasi dan tidak memberikan manfaat sama sekali bagi lingkungan.
"Ada potensi bentang alam Seblat akan diserang, apalagi semua perizinan sudah diambilalih pemerintah pusat," paparnya.
Sementara itu, Kepala Balai KSDA Bengkulu Donald Hutasoit mengatakan gajah Sumatera yang tersisa harus diselamatkan khususnya habitat gajah yang ada di bentang alam Seblat.
Ia menilai tambang terbuka pasti akan mengubah habitat gajah Sumatera, apalagi di wilayah Seblat yang merupakan koridor gajah masuk dalam kawasan koservasi TWA Seblat.
Baca juga: Kementerian ESDM: Perusahaan wajib sediakan biaya eksplorasi minerba
"Jangankan hutan konservasi, hutan non-konservasi juga kalau itu lintasan gajah perlu diselamatkan dan faktanya gajah tidak selalu ada di dalam kawasan konservasi, tapi juga di luar kawasan, untuk di luar kawasan konservasi inilah salah satu solusi penyelamatan dengan kawasan ekosistem esensial," kata Donald.
Donald menegaskan bila UU Minerba yang baru itu diterapkan dan bertentangan dengan UU Kehutanan, pihaknya siap mempertahankan kelestarian hutan yang diamanatkan dalam UU Kehutanan.
Anggota Forum Konservasi Gajah Indonesia Dony Gunaryadi menilai ada empat faktor yang menjadi penyebab utama hilangnya populasi gajah Sumatera, mulai dari Aceh hingga Lampung, yaitu perburuan, konflik manusia dan gajah, ancaman jerat listrik, dan racun.
Rencana tindak mendesak yang dilakukan dalam upaya penyelamatan gajah Sumatera, antara lain perlindungan gajah di alam dan penguatan kapasitas aparat penegakan hukum dalam memerangi tindak kejahatan terhadap satwa liar, khususnya gajah.
Selain itu, penanggulangan dan adaptasi konflik manusia dan gajah secara efektif melalui optimalisasi pengelolaan barrier, mendorong praktik hidup berdampingan (koeksistensi) antara manusia dengan gajah, menghilangkan potensi ancaman langsung pada lokasi-lokasi prioritas, penyelamatan gajah dari populasi alami kritis, dan pemindahan ke habitat yang aman dan layak.
Baca juga: Bentang Seblat habitat terakhir gajah di Bengkulu
Donny mengatakan sedikitnya ada 1.700 gajah Sumatera yang tersisa dan hidup di hutan Sumatera, namun data tersebut merupakan hasil perkiraan dari beberapa lembaga yang selama ini menjadi pemerhati gajah. Selama sepuluh tahun terakhir, ada sekitar 700 ekor gajah yang mati karena diburu. "Yang diketahui ada 150 ekor yang diburu, diracun, diambil gadingnya," ucapnya.
Donny menyebutkan di tahun 1985 terdapat 44 daerah kantong habitat gajah yang berada di pulau Sumatera, namun tahun 2007 hanya tinggal 25 kantong. Dari 25 kantong itu hanya ada 12 kantong saja yang memiliki populasi di atas 50 ekor.
Saat ini hanya beberapa daerah habitat gajah, seperti di Taman Nasional Leuser dan Ulu Masen, Aceh, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan Tesso Nilo, Jambi, Padang Sugihan, Sumatera Selatan, Bengkulu, Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan, Lampung.
Sementara itu, Koodinator Koalisi Penyelamat Bentang Seblat yang tiga tahun terakhir berkampanye menyelamatkan habitat gajah Sumatera terakhir di Bengkulu, Sofian Ramadhan mengatakan penyelamatan gajah di Bengkulu menjadi tanggung jawab semua pihak.
Dengan jargon savegajahseblat dari ancaman pertambangan batu bara, yaitu PT Inmas Abadi yang mengincar habitat gajah di Seblat, Sofian mengatakan dukungan dari berbagai elemen untuk menyelamatkan gajah Sumatera akan terus digaungkan.
"Kalau tambang masuk ke bentang Seblat, gajah Sumatera serta flora dan fauna yang ada akan hilang. Maka kami minta pada pemerintah membatalkan UU Minerba dan membuat regulasi yang lebih ramah lingkungan," kata Sofian.
Baca juga: Gajah Bengkulu berpotensi kawin sekerabat
Baca juga: Bengkulu inisiasi koridor gajah di bentang Kerinci Seblat
Direktur Yayasan Kanopi Hijau Indonesia Ali Akbar mengatakan dalam UU Minerba yang baru itu, seluruh wilayah daratan dan perairan Indonesia masuk dalam wilayah hukum pertambangan, dengan kata lain dapat dikeruk untuk pertambangan mineral dan batu bara.
"Tentu habitat gajah Sumatera yang ada di Bengkulu, seperti di kawasan Seblat Bengkulu Utara yang potensi batu baranya cukup besar akan semakin terancam, karena dalam beberapa tahun terakhir juga terus diincar perusahaan tambang," kata Ali.
Dengan UU Minerba yang baru, menurut dia, perizinan juga seluruhnya sudah ditarik ke pemerintah pusat, sehingga kewenangan daerah semakin dihilangkan dalam pengelolaan sumber daya alam ini.
Pewarta: Carminanda
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020