Yusnar mengakui umat beragama dalam konteks negara dan bangsa sering kali berada dalam identitas ganda, yakni sebagai umat beragama dan warga negara, sehingga seringkali persoalan terkait solidaritas keagamaan melupakan persaudaraan kebangsaan yang ada.
Untuk itulah diperlukan kepedulian sesama umat beragama untuk tidak sampai pada merobek persaudaraan kebangsaan, kata Yusnar, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Baca juga: KH Muflich: Moderasi agama sebagai upaya hargai perbedaan
Baca juga: BNPT berharap kontribusi masyarakat bantu penyintas korban terorisme
Menurut dia, memang sejatinya umat beragama, khususnya umat Islam, perlu untuk saling sharing pengalaman terkait kejadian atau musibah yang dialami di masing-masing negaranya sebagai sesama umat muslim, tetapi terkait dengan permasalahan dalam negeri masing-masing tentunya umat di Indonesia tidak bisa terlalu ikut campur dengan hal itu.
"Jadi yang bisa kita lakukan adalah jika ada orang Indonesia yang sedang merantau dan sebagainya di negara tersebut, maka itu baru bisa ditangani dengan memberi nasihat dan sebagainya karena kita memiliki hubungan diplomatik dengan negara bersangkutan. Karena jika tidak ada kerjasama luar negeri ya apa yang bisa dilakukan," ujar Yusnar.
Menurut dia, persaudaraan sesama muslim tentu saja harus dibangun, tapi juga tidak bisa memaksakan.
Dia mencontohkan terkait konflik umat di dunia, seperti Palestina, Rohingya atau Uyghur, Yusnar menjelaskan bahwa dirinya sendiri pernah diundang oleh pemerintah Tiongkok untuk berkunjung ke Xinjiang bersama para tokoh agama lainnya dan delegasi dari Indonesia.
“Saya melihat sendiri itu Islam Uyghur di sana bagus, tidak ada masalah. Tapi ada yang menyatakan di kita bahwa itu sebenarnya tidak seperti itu, kemudian kita diprovokasi untuk mendesak pemerintah dan lain sebagainya. Hal ini sebenarnya menunjukkan hebatnya Indonesia sebagai negara merdeka dan demokrasi dimana semua orang bebas untuk berbicara dan berpendapat,” tutur pakar ilmu tilawah Al-Qur’an itu.
Yusnar menyampaikan bahwa jangan hanya karena diprovokasi oleh kelompok-kelompok tertentu kemudian jika ada masalah dengan umat di sana lalu menyuruh pemerintah Indonesia untuk berperang dengan Tiongkok atau negara lainnya.
“Harusnya kan tidak sampai seperti itu, karena kalau kalah jadi abu, menang jadi arang kita nanti. Masalah seperti itu sendiri sebenarnya adalah masalah di luar negeri yang bisa kita perjuangkan lewat jalur diplomasi dan melalui forum-forum dunia, tidak perlu sampai diprovokasi segala macam,” katanya.
Dalam kesempatan ini, Yusnar mengapresiasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam membentuk Gugus Tugas Pemuka Agama dalam Rangka Pencegahan Paham Radikal Terorisme di masyarakat.
“Saya sendiri berharap agar pembentukan gugus tugas pemuka agama yang di inisiasi oleh BNPT ini juga bisa berkelanjutan dan tidak berhenti di tengah jalan. Karena ini ini juga sebagai jembatan antara pemerintah dengan para tokoh agama dalam mengedukasi dan menentramkan umatnya agar para umat ini juga tidak mudah terprovokasi ataupun termakan isu-isu yang dihembuskan oleh segelintir kelompok yang tidak bertanggung jawab dengan mengatasnamakan agama tertentu,” katanya.
Baca juga: Kepala BNPT: Penanggulangan terorisme perlu sinergisitas bersama
Baca juga: BNPT bidik kerja sama internasional cegah terorisme saat pandemi
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020