Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengingatkan agar jangan mengabaikan peran Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai penggerak pendidikan di Indonesia.
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) di Jakarta, Kamis, menyampaikan itu sebagai bentuk kritik terhadap Program Organisasi Penggerak Kemendikbud yang lemah dalam proses verifikasi dan validasi.
Akibat kelemahan proses verifikasi dan validasi itu menurut dia mengakibatkan penolakan dari Muhammadiyah dan NU, dua organisasi massa terbesar di Indonesia yang telah berjasa dalam menggerakkan dan mengelola pendidikan di Indonesia.
Karena itu Hidayat meminta Kemendikbud mendengarkan masukan dari masyarakat, termasuk Muhammadiyah dan NU. Terutama masukan yang menyatakan bahwa program dengan total anggaran Rp595 Miliar tersebut seharusnya melibatkan lembaga yang kredibel dan terbukti berkontribusi dalam memajukan pendidikan di Indonesia.
“Anggaran penggerak pendidikan ini jangan sampai jadi sekedar hibah untuk pihak swasta, yang belum jelas kontribusinya di bidang pendidikan. Pemerintah harusnya lebih hati-hati soal pemakaian APBN, apalagi saat ini merupakan era darurat Korona (COVID-19),” katanya.
Hidayat mengingatkan, 30-40 persen pembiayaan negara di masa pandemi ini berasal dari utang. Ini terjadi karena defisit yang semakin melebar hingga lebih dari Rp1.000 triliun, sesuai Perpres 72/2020.
Karena itu, kata dia diperlukan langkah penggunaan anggaran yang hati-hati, efisien, tepat guna dan pruden, terutama untuk program dengan anggaran yang melimpah.
Menurutnya, anggaran untuk Organisasi Penggerak Pendidikan sebesar Rp595 Miliar di Kemendikbud adalah sangat besar, dibandingkan misalnya anggaran untuk lembaga atau organisasi masyarakat di Kementerian Agama yang hanya bernilai sekitar Rp75 Miliar.
Oleh karena itu, Politisi Fraksi PKS ini meminta Kemendikbud lebih peka dan berhati-hati, apalagi ditemukan ada beberapa lembaga yang berafiliasi dengan dana CSR perusahaan, seperti Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation, tapi malah menerima “hibah” kelas gajah dari program ini.
Mundurnya Muhammadiyah dan NU dari program tersebut harus menjadi evaluasi serius bahwa ada yang tidak beres dalam proses dan pengambilan keputusannya, apalagi kabarnya dalam proses verifikasi, tidak menggugurkan satu pun dari 183 lembaga calon penerima.
“Memang perlu pemerataan dan keadilan. Tetapi dalam konteks itu juga, mengabaikan peran Muhammadiyah, NU, dan beberapa ormas besar lain yang telah bergerak dan terbukti sukses di bidang pendidikan sebelum Kemendikbud berdiri, adalah ketidakbijakan yang harusnya tidak terjadi," katanya.
Jangan sampai, lanjut HNW, peran dan pendapat mereka diabaikan, apalagi demi meningkatkan kualitas pendidikan dan guru, dengan menggunakan anggaran tinggi di masa pandemi.
Justru kata dia melibatkan organisasi-organisasi besar yang telah terbukti jasa dan kinerjanya dalam menggerakkan dan memajukan Pendidikan seperti Muhammadiyah, NU dan lainnya, akan lebih membantu Kemendikbud untuk merealisir program-programnyanya.
"Hadirkan pendidikan dan tenaga didik yang lebih baik dan lebih maju, sekalipun di era darurat kesehatan pandemi COVID-19,” ujarnya.
Baca juga: KPK dorong organisasi Islam lebih berperan berantas korupsi
Baca juga: Pendidikan agama butuh ditingkatkan di sekolah
Baca juga: Kemendikbud dukung ormas pendidikan lebih berdaya melalui Program POP
Baca juga: Muhammadiyah tuntut transparansi Kemdikbud soal hibah ormas
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020