"Sejak 2016 hingga Juni 2020 ada 926 permohonan perlindungan terhadap anak yang masuk ke LPSK. Asal permohonan tertinggi dari Jawa Barat, diikuti DKI Jakarta dan Sumatera Utara," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Edwin menjelaskan dari 926 permohonan perlindungan terhadap anak, 482 di antaranya adalah korban kekerasan seksual, 133 korban perdagangan orang, 106 korban eksploitasi perdagangan seksual, dan sisanya berasal dari berbagai kasus yang menempatkan anak sebagai korban.
Dalam kesempatan itu, LPSK menyoroti tentang permohonan perlindungan terhadap anak korban eksploitasi perdagangan seksual.
Baca juga: LPSK terima permohonan perlindungan 45 korban penyiksaan
LPSK berdasarkan daerah asal korban, anak yang dilacurkan (AYLA) banyak yang berdomisili di Jawa Barat, diikuti Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta.
Sementara berdasarkan tempat terjadinya tindak pidana AYLA, DKI Jakarta berada di tempat teratas, diikuti Jawa Timur dan Jawa Barat.
Adapun untuk tingkat pendidikan, sebagian besar AYLA tidak menyelesaikan pendidikan dasar 12 tahun, bahkan ada yang tidak menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar (SD).
"Pada umumnya, AYLA yang ingin bekerja, mendapatkan informasi pekerjaan dari teman, media sosial, kerabat, dan agen/perekrut. Pada awalnya mereka dijanjikan bekerja sebagai pramusaji, pemandu karaoke, penjaga toko dan lainnya dengan janji penghasilan yang memadai," kata Edwin.
Namun pada kenyataannya, kata dia, anak-anak tersebut dieksploitasi saat bekerja, dengan dipekerjakan 10 jam hingga 16 jam per hari, dan melayani sekitar 10 tamu. Mereka dijanjikan penghasilan Rp1 juta hingga Rp20 juta per bulan.
Baca juga: Soal RUU PKS, LPSK catat korban kekerasan seksual terus naik
"Jauh panggang dari api, di antara mereka bahkan tidak mendapatkan upah sama sekali. Mereka juga dipaksa untuk meminum pil KB atau obat kontrasepsi sehingga dapat dieksploitasi secara terus menerus tanpa terhalang siklus menstruasi," ucap dia.
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar mengatakan bahwa Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak.
Bahkan pada tahun 2016, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk merespons maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, dengan menambah ancaman pidana menjadi paling lama 20 tahun, atau pidana seumur hidup, atau hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
"Sayangnya, perhatian Presiden terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak belum diiringi dengan kecukupan anggaran bagi pelaksanaan perlindungan anak. Masalah yang sering ditemui adalah anggaran yang kecil dan SDM dengan kompetensi yang kurang," kata Livia.
Baca juga: LPSK: Takut dan tak percaya jadi alasan korban penyiksaan tak lapor
Dalam kesempatan itu, LPSK mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan kampanye pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dan alokasi anggaran yang memadai untuk melakukan perlindungan kepada anak dan perempuan.
Pemerintah juga diharapkan menggalakkan patroli siber menghapus konten pornografi dan prostitusi daring, serta mendukung advokasi perlindungan anak dan perempuan yang dilaksanakan LSM, ormas, akademisi, dan membuat jaringan yang operasional.
"Diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan kepada anak dengan pengalokasian anggaran yang memadai, kualifikasi SDM kompetitif, dan pembangunan tempat rehabilitasi korban setidaknya di setiap provinsi, kota, dan kabupaten," ujar Livia.
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020