• Beranda
  • Berita
  • Peneliti: Partai jangan usung mantan pecandu pada pilkada

Peneliti: Partai jangan usung mantan pecandu pada pilkada

27 Juli 2020 11:46 WIB
Peneliti: Partai jangan usung mantan pecandu pada pilkada
Ilustrasi Pilkada serentak 2020 (ANTARA/HO/20)
Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil menyarankan partai politik tidak mengusung calon kepala daerah yang pernah terlibat dalam penyalahgunaan narkoba pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 9 Desember 2020.

"Kalau pemahaman saya sebagai pemilih harusnya kalau mantan pengguna narkotika partai, ngapain nyalonin meskipun sudah sembuh? Itu perspektif saya sebagai pemilih. Memang tidak ada kader yang bukan mantan pengguna narkotika yang jauh lebih sehat, yang jauh lebih berintegritas, yang punya rekam jejak bersih?" kata Fadli kepada wartawan, di Jakarta, Senin.

Baca juga: KPU: Kampanye terbuka Pilkada dilaksanakan dengan protokol kesehatan

Menurut dia, banyak kader partai dan figur yang bisa didorong untuk maju dalam ajang pilkada yang punya rekam jejak bersih dan tidak pernah terlibat penyalahgunaan narkoba.

"Kalau menggunakan perspektif pemilih kan seperti itu. Nah, cara pandang seperti itu yang harus dilakukan partai ketika mengusung atau tidak mengusung satu calon," ujarnya.

Ia mengingatkan partai harus berhati-hati dan memperketat seleksi calon kepala daerah, serta memiliki sistem verifikasi untuk menelusuri rekam jejak calon yang bakal diusung.

Partai, kata dia, harus membangun mekanisme verifikasi sebelum menentukan calon kepala daerah, misalnya secara teknis bekerja sama dengan BNN pusat maupun daerah, dan sejumlah rumah sakit rehabilitasi untuk menelusuri jejak rekam apakah calon yang akan diusung itu pernah terlibat dalam penyalahgunaan obat-obatan zat adiktif yang berbahaya.

"Jadi, desakannya tidak hanya kepada membangun sistem verifikasi terhadap mantan pengguna narkoba, tapi juga mendesak kepada partai untuk lebih hati-lebih mencalonkan siapa orang yang akan diusung. Jadi, tidak boleh melihat problem ini hanya dari satu aspek saja," katanya.

Fadli juga mendorong Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, KPU, dan Bawaslu menggodok peraturan yang melarang mantan pengguna narkoba maju di pilkada dengan berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Nomor 10/2016.

Fadli menambahkan partai tidak boleh bersikap pragmatis dalam mengusung calon pejabat publik, seperti calon kepala daerah, tetapi harus menjalankan sistem kaderisasi dan penjaringan calon kepala daerah.

Baca juga: Kemendagri minta pilkada disukseskan sebagai bagian agenda nasional

"Harusnya partai punya sistem kaderisasi dan rekrutmen yang jauh lebih demokratis sehingga penelusuran jejak rekam siapa yang dicalonkan itu tidak boleh pragmatis, sederhana saja, tapi juga betul-betul orang yang berintegritas, orang-orang yang punya jejak rekam yang bersih. Nah, itu yang kemudian harus diperhatikan (partai)," tambahnya.

Sebagaimana diketahui, MK telah memutuskan mantan pengguna narkoba dilarang menjadi calon kepala daerah sejalan dengan penolakan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pilkada 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Nomor 10/2016.

Pasal itu melarang seseorang dengan catatan perbuatan tercela mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Adapun perbuatan tercela yang dimaksud adalah judi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, dan berzina.

Putusan MK itu berawal ketika mantan Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Noviadi, mengajukan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Nomor 10 Tahun 2016.

MK menyebut bahwa pemakai narkoba dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, kecuali dalam tiga kondisi.

Pertama, pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat yang bersangkutan.

Kedua, mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi.

Ketiga, mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.


Baca juga: Kemarin, pandemi untungkan petahana hingga kampanye terbuka dibolehkan

 

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020