"Penggunaan perangkat HT, selain jangkauan bisa luas juga biaya bisa lebih murah, karena cukup beli perangkat di awal dan selanjutnya tidak keluar biaya lagi seperti untuk membeli kuota paket data," kata Dodi di Sleman, Selasa.
Menurut dia, memang untuk penggunaan perangkat HT ini harus ada frekuensi khusus, dan ini bisa diajukan ke dinas Kominfo setempat untuk dimintakan izin ke Kementerian.
"Ini untuk mengantisipasi adanya pengguna lain yang masuk dalam frekuensi saat berlangsungnya BDR. Tetapi harus sudah plot Izin Spektrum Radio (ISR), ini biaya juga relatif murah yakni satu tahun berkisar Rp1,3 juta hingga Rp1,5 juta," katanya.
Baca juga: Pemkab Sleman minta operator seluler bantu kelancaran belajar daring
Baca juga: Yogyakarta atasi masalah belajar via daring dengan Guru Berkunjung
Ia mengatakan, dengan perangkat HT ini untuk volume juga bisa lebih keras dan mudah didengar oleh penggunanya, dalam hal ini guru dan siswa.
"Dengan volume yang cukup keras ini juga memungkinkan bila satu perangkat HT digunakan untuk lima siswa yang rumahnya saling berdekatan, sehingga biaya pengadaan perangkat HT juga bisa ditanggung bersama dan jatuhnya lebih murah," katanya.
Harga perangkat HT di pasaran sendiri memang bervariasi, dan ada perangkat HT dengan harga yang cukup murah berkisar antara Rp300 ribu hingga Rp500 ribu.
"Perangkat HT produk Cina cukup murah, ada yang harganya Rp300 ribu, kalau perangkat telepon selular berbasis Android bisa lebih mahal," katanya.
Dodi mengatakan, untuk perangkat HT digital memang lebih mahal, namun juga memiliki keunggulan dimana satu frekuensi bisa dipakai bersama. Frekuensi misalnya milik Dinas Pendidikan setempat, dan ini bisa dipakai bersama untuk banyak sekolah.
"Satu frekuensi satu instansi, bisa bergantian, misalnya jam ini digunakan untuk sekolah A, jam ini sekolah B dan seterusnya. Namun, untuk perangkat HT digital ini relatif mahal, satu perangkat harganya di atas Rp1 juta," katanya.
Ia mengatakan, dengan perangkat HT ini komunikasi bisa dua arah, hanya tidak bisa full duplex, sehingga harus bergantian saat melakukan komunikasi.
"Misalnya pertama guru menyampaikan materi, semua siswa harus mendengarkan, dan nanti setelah selesai giliran siswa secara bergantian yang mengajukan pertanyaan atau penjelasan bila ada yang belum paham dari materi yang disampaikan," kata Dodi yang juga aktif di ORARI maupun RAPI ini.
Dodi yang juga anggota Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) ini menyebut kelemahannya dengan perangkat HT ini, hanya untuk materi atau pelajaran yang membutuhkan gambar dalam penjelasannya.
"Hanya ini yang menjadi kendala, tetapi mungkin bisa dicarikan solusi. Yang jelas dengan menggunakan perangkat HT ini lebih hemat biaya dan juga jaringan lebih luas," katanya.*
Baca juga: Kelurahan Jamsaren Kediri fasilitasi wifi gratis untuk anak sekolah
Baca juga: Curhat siswa di Sigi, tak ada internet sampai dipinjami HP tetangga
Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020