Laporan PBB itu menyebut jumlah korban lebih dari 100 orang.
Ratusan perempuan yang jadi korban kekerasan itu ditahan oleh aparat pada 2009-2010 setelah mereka gagal kabur dari Korea Utara. Setelah mereka dibebaskan, para penyintas diwawancarai oleh penyidik dari PBB di Seoul.
Para korban mengaku mereka kelaparan, kurang tidur, tidak mendapat cahaya matahari yang cukup dan udara segar saat mendekam di penjara dan tahanan.
Dalam laporan berjudul "I Still Feel The Pain" (Saya Masih Merasakan Rasa Sakit), banyak penyintas mengaku mereka jadi korban kekerasan, tubuhnya diperiksa secara kasar, aborsi paksa, bahkan pemerkosaan oleh aparat. Setelah menjalani masa hukuman di penjara, ratusan perempuan itu berhasil melarikan diri ke Korea Selatan.
"Saya tidak tidur dan terus bekerja demi menghindari siksaan. Saya tidak ingin dipukul. Siksaan itu begitu parah sampai saya ingin bunuh diri," kata seorang penyintas sebagaimana dikutip dalam laporan tersebut.
Korea Utara belum menanggapi isi laporan itu. Namun, beberapa kali pemerintah mengatakan kritik yang menyasar catatan buruk penegakan HAM di Korea Utara merupakan "plot untuk menggulingkan rezim".
Seorang penyintas lainnya menceritakan ia diperkosa oleh aparat pada 2010 saat malam-malam pertama dalam tahanan.
"Ia (pelaku, red) mengancam bahwa ... saya akan dipermalukan jika menolak dia. Dia bahkan mengatakan dapat membantu saya dibebaskan lebih cepat jika saya melakukan apa yang dia minta," kata korban.
Pengumpulan kesaksian dan informasi di Korea Utara merupakan pekerjaan yang sulit. Laporan itu juga kesulitan mengumpulkan informasi di Korut telah membatasi kemampuan PBB untuk memverifikasi kesaksian para penyintas.
Salah satu penyusun laporan dan pegawai PBB bidang HAM, Daniel Collinge, mengatakan laporan itu bertujuan memberi tekanan bagi Pyongyang agar pemerintah Korut memperbaiki kualitas penegakan HAM. Ia juga mendesak otoritas di negara-negara lain untuk tidak mendeportasi para pembelot dari Korut yang telah mempertaruhkan hidup mereka untuk mendapatkan kebebasan dan hidup yang layak.
Pemerintahan Korea Selatan yang dipimpin Presiden Moon Jae-in belum lama ini dikritik sejumlah pihak karena mencabut izin kelompok masyarakat Korut yang berhasil membelot. Bahkan, Korsel sempat melarang kelompok itu mendistribusikan brosur kampanye anti-Pyongyang melewati perbatasan. Langkah itu dilakukan karena Korsel berusaha memperbaiki hubungan dengan Korut.
Sumber: Reuters
Baca juga: Korea Utara bantah tuduhan kematian mahasiswa AS akibat penyiksaan
Baca juga: Pastor Kanada pulang ke rumah setelah dibebaskan Korea Utara
Baca juga: Akan kian banyak diplomat Korea Utara yang membelot
Kim Jong Un Hadiri Festival Arirang
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020