"Untuk mengurangi kelangkaan bahan bakar fosil yang ketersediaannya mulai berkurang sekaligus mengurangi pencemaran lingkungan, pembangkit listrik berbasis EBT perlu segera direalisasikan, apalagi potensinya cukup besar," kata Prof Hadi Suyono di Malang, Jawa Timur, Selasa.
Menurut profesor Bidang Ilmu Rekayasa Sistem Daya dan Kecerdasan Buatan ini, pembangkit EBT dengan sumber matahari dan angin memberikan emisi CO2 yang paling rendah dibandingkan dengan teknologi pembangkit lainnya. Dengan diimplementasikannya pembangkit listrik berbasis EBT, kualitas udara dan lingkungan akan semakin baik.
Baca juga: Kementerian ESDM: Bauran energi baru terbarukan capai 11,51 persen
Ketersediaan teknologi dan pembangkit EBT juga akan memberikan jaminan peningkatan ketersediaan pekerjaan dan manfaat ekonomi lainnya ketimbang teknologi bahan bakar fosil, yang biasanya mekanis dan padat modal, sedangkan industri energi terbarukan lebih padat karya.
Ia menerangkan panel surya membutuhkan tenaga kerja untuk instalasinya, "wind farm" membutuhkan teknisi untuk pemeliharaan. Ini berarti bahwa secara rata-rata, lebih banyak pekerjaan yang dapat diciptakan untuk setiap unit listrik yang dihasilkan dari sumber terbarukan dibandingkan dari bahan bakar fosil.
Indonesia dengan kondisi geografisnya mempunyai potensi pembangkit EBT yang sangat besar dan masih belum banyak dieksploitasi dan dikembangkan.
Oleh karena itu, masih perlu banyak usaha dan kesempatan untuk mengimplementasikan EBT pada sistem kelistrikan di Indonesia, yang mempunyai banyak keuntungan, seperti ramah lingkungan dan ketersediaan sumber primernya sangat banyak dan tak terbatas.
Untuk itu, katanya, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral masih perlu melakukan akselerasi untuk merealisasikan 23 persen bauran energi pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050.
Baca juga: PLN dorong penggunaan energi baru terbarukan rendah karbon
Karena itu, lanjutnya, perlu adanya strategi akselerasi implementasi pembangkit EBT untuk mencapai target yang telah ditetapkan, di antaranya penguatan dan implementasi regulasi yang telah dibuat pemerintah, pengembangan sistem pembangkit hibrida pada sistem yang yang telah ada dan biasanya menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).
Selain itu, implementasi dan pengembangan injeksi pembangkit EBT pada sistem distribusi (distributed generation) yang secara kapasitas kecil dan dapat secara massif dikembangkan serta meningkatkan integrasi hybrid pembangkit listrik tenaga surya dan angin.
Strategi tersebut, kata Hadi, dapat dilakukan oleh pelanggan, siapa yang akan berkontribusi pada pengembangan EBT ini walaupun dengan skala kecil, tetapi akan banyak dari segi jumlah, namun tetap perlu memperhatikan aspek keteknikan (reliabilitas dan sekuritas) serta aspek ekonomi.
Sistem pembangkit EBT lainnya, seperti biomassa, energi laut, dan yang lainnya mempunyai karakteristik yang berbeda.
"Demikian juga dengan implementasi operasi ekonomis dengan unit 'commitment' dan 'economic dispatch' dari pembangkit EBT yang berselang dan pembangkit termal, dengan beban berubah-ubah perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menggabungkan forecasting EBT dan beban, sehingga didapatkan algoritma yang efisien dan kuat," paparnya.
Baca juga: Kementerian ESDM jajaki potensi panas bumi sebagai EBT di Tana Toraja
Baca juga: Kementerian ESDM: Pemakaian EBT tingkatkan indeks kebahagiaan
Baca juga: PLTS Atap dibangun di kawasan industri, dukung implementasi EBT
Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020