Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sjarief Widjaja mengingatkan nelayan Indonesia untuk memperlakukan dengan baik ikan pelagis besar termasuk tuna yang ditangkap dalam rangka menjaga mutu ekspornya.ikan jenis tersebut harus dipastikan kesegarannya agar nutrisi ikan terjaga saat dikonsumsi masyarakat.
"Dengan begitu, produk yang dihasilkan pun dinilai tinggi oleh pasar dalam negeri maupun pasar ekspor seperti Jepang, Hong Kong, Eropa, dan Amerika," kata Sjarief Widjaja dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Ia mengemukakan bahwa KKP melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) telah menggelar "Pelatihan Penanganan Ikan Pelagis Besar di Atas Kapal" bagi masyarakat nelayan. Pelatihan diselenggarakan selama dua hari, 28-29 Juli 2020, melalui Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BPPP) Bitung.
Baca juga: KKP siap sinergi lintas sektor garap 100.000 hektare tambak udang
Kepala BRSDM Sjarief Widjaja mengatakan ikan pelagis besar seperti tuna, marlin, dan tongkol memerlukan penanganan khusus dalam penangkapannya.
Menurut dia, ikan jenis tersebut harus dipastikan kesegarannya agar nutrisi ikan terjaga saat dikonsumsi masyarakat.
"Kita harus membayangkan bahwa ikan ini akan dipindahkan dari alam ke atas piring. Oleh karena itu, kualitasnya harus memenuhi syarat sebagai ikan yang bernutrisi dan berdampak pada tubuh kita dengan kandungan omega 3 di dalamnya. Kita harus pastikan bahwa ikan ini tidak membawa hal-hal yang tidak baik untuk tubuh kita," paparnya.
Sjarief mengingatkan bahwa kualitas ikan akan mempengaruhi nilai jualnya di pasar, seperti ikan tuna misalnya memiliki grading A, B, dan C yang ditentukan oleh kesegaran dan kekenyalannya.
Baca juga: Sulteng ekspor perdana tuna sirip kuning ke Jepang
Untuk itu, ujar dia, terdapat beberapa teknik penanganan yang harus dilakukan oleh para nelayan.
Pertama, Sjarief mengungkap bahwa tuna dapat merasakan tekanan layaknya manusia. Oleh karena itu, penangkapannya harus dilakukan dengan hati-hati sehingga ikan tidak menjadi stres dan berdampak pada kualitas dagingnya.
"Kita harus membiarkan dia tetap berenang sampai titik tertentu dia capek, baru kita tarik pancingnya. Jadi, kita tidak melawan gerakan-gerakan tuna yang bisa menyebabkan dia stres maupun merusak sebagian badannya," jelasnya.
Kedua, tuna harus disimpan dalam cold storage atau ruang bersuhu dingin yang cukup tinggi saat dipindahkan di atas kapal, idealnya minus 40 derajat celcius.
Baca juga: Indonesia secara geografis berpotensi tingkatkan ekspor tuna
Ketiga, pengangkatan tuna ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) juga harus dilakukan dengan cara yang baik, misalnya, tuna dapat diselimuti dengan kain goni agar suhu dan kualitasnya tetap terjaga.
Selanjutnya, kestabilan suhu tuna saat dipindahkan ke cold storage di darat juga harus terus dijaga. "Idealnya, tuna yang kita tangkap itu selalu berada pada suhu yang relatif sama. Jadi begitu kita tangkap dia langsung dingin, seterusnya juga harus dingin terus," ujar Sjarief.
Namun ia menyatakan,kondisi yang sering terjadi adalah suhu penanganan tuna berubah-ubah sehingga berdampak pada kualitas daging tuna itu sendiri.
Berdasarkan data BPS, secara kumulatif nilai ekspor Indonesia selama Januari–Maret 2020 mencapai 1,24 miliar dolar AS atau meningkat 9,82 persen dibanding periode yang sama tahun 2019. Dari jumlah itu, tuna-tongkol-cakalang (TTC) memiliki nilai ekspor 176,63 juta dolar (14,23 persen).
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020