"Agenda reformasi sektor keamanan mengalami kemunduran paling serius bila Rancangan Perpres tersebut disahkan menjadi Perpres sebagai turunan dari Pasal 43I UU Nomor 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme," kata Hendardi, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Senin.
Sebelumnya, lanjut dia, pelibatan TNI dalam jabatan-jabatan sipil dan impunitas dari tuduhan pelanggaran HAM berat dalam banyak kasus, juga menjadi penanda kemunduran reformasi sektor keamanan yang mencemaskan.
Baca juga: TNI alokasikan anggaran Rp1,5 triliun untuk Koopsus
"Alih-alih menuntaskan reformasi sektor keamanan, seperti penghapusan komando teritorial, perubahan UU Nomor 31/1997 tentang Peradilan Militer dan membentuk UU Perbantuan Militer sebagai dasar pelibatan TNI dalam kehidupan sipil, kepemimpinan Jokowi justru terus-menerus memanjakan TNI dengan berbagai keistimewaan pelibatan dalam berbagai kehidupan sipil tanpa batas-batas yang jelas," katanya.
Baca juga: Panglima TNI resmikan Markas Komando Operasi Khusus TNI
"TNI adalah alat pertahanan yang kehadirannya dalam ranah sipil dan penegakan hukum hanya diperkenankan atas dasar kebijakan politik negara, bersifat sementara, ada batas waktu, kekhususasn jenis penugasan, dan disertai mekanisme akuntabilitas yang presisi," katanya.
Baca juga: DPR: Koopsus TNI jaga kedaulatan di semua lini
Sementara, tambah Hendardi, dalam desain pelibatan TNI memberantas tindak pidana terorisme, sebagaimana naskah rancangan Perpres, pelibatan itu bersifat permanen dan melampaui tugas pokok TNI dalam operasi militer selain perang yang semestinya hanya ditujukan pada tingkatan penindakan dan pada obyek tertentu dimana Polri, sebagai unsur utama dalam sistem peradilan kriminal sudah tidak mampu menangani tindakan terorisme itu.
Hendardi menuturkan pelibatan TNI sesungguhnya dimungkinkan pada tingkat tertentu dimana eskalasi ancaman masuk dalang lingkup ancaman militer, dan dijalankan dengan perintah otoritas politik.
Baca juga: Panglima TNI: Koopsus tidak nihilkan peran pasukan elit tiap matra
Sehingga, diperlukan definisi yang jelas tentang "Aksi Terorisme" yang menjadi Tupoksi TNI dan "Tindak Pidana Terorisme" yang menjadi ranah aparat penegak hukum agar tidak terjadi potensi tumpang-tindih peran.
Klaim pemerintah yang disampaikan melalui Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, yang menyatakan rancangan Perpres itu sudah disetujui pemerintah dan dikirimkan ke DPR adalah bentuk keengganan pemerintah membela mandat reformasi TNI karena dengan mudah meloloskan kehendak politik TNI memasuki kehidupan sipil secara sistematis.
"Mahfud MD tampaknya kurang cermat bahwa pembentukan rancangan Perpres ini memuat banyak norma-norma baru yang melampaui mandat pasal 43 I yang menjadi dasar hukum yang memerintahkan, menjadikan rancangan Perpres itu mutlak membuka ruang partisipasi publik, dibahas secara terbuka dan tidak dilakukan dengan tergesa-gesa," kata Hendardi.
Baca juga: Pemerintah fokus berantas terorisme dengan keberadaan Koopssus TNI
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020