Menjelang pilkada (keluarga) 2020

4 Agustus 2020 14:53 WIB
Menjelang pilkada (keluarga) 2020
Ilustrasi- pilkada serentak. (ANTARA/Ardika/Am)
Pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 akan berlangsung sekitar 4 bulan lagi yaitu, pada 9 Desember 2020, bertepatan dengan hari Antikorupsi Internasional.

Pilkada serentak untuk 270 daerah tersebut sudah ditunda dari sebelumnya yang dijadwalkan pada 23 September 2020, namun akibat pandemi COVID-19 KPU pun merevisi pesta demokrasi lima tahunan di daerah tersebut.

Rincian daerah yang akan melakukan pesta politik adalah 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota dan karena memang waktunya sudah sempit, sejumlah nama sudah mulai memunculkan diri sebagai calon kepala daerah dengan mengantongi dukungan dari partai politik.

Persoalannya, nama-nama yang muncul adalah kerabat dari tokoh-tokoh politik nasional dan daerah, bahkan sebagian berusia muda dan tidak punya rekam jejak di dunia politik sebelumnya.

Kerabat tokoh politik nasional yang sudah mengantongi dukungan dari partai politik misalnya Gibran Rakabuming Raka (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDI-P), putra Presiden Joko Widodo, sebagai bakal calon wali kota Solo; Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Gerindra), sebagai bakal calon wakil wali kota Tangerang Selatan; Siti Nur Azizah (Demokrat), putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, sebagai bakal calon wali kota Tangsel.

Selanjutnya Bobby Nasution (Partai Gerindra), menantu Presiden Joko Widodo yang akan maju sebagai calon Wali Kota Medan; Hanindhito Himawan Pramana (PDI-P), putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung, sebagai bakal calon bupati Kediri; Irman Yasin Limpo (Partai Golkar), adik Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, sebagai bakal calon wali kota Makassar; dan Titik Masudah (Partai Kebangkitan Bangsa) yang merupakan adik Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, menjadi bakal calon wakil bupati Mojokerto.

Masih ada nama-nama kerabat tokoh politik lokal misalnya, ada Ipuk Fiestiandani, istri Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, yang mencalonkan diri sebagai bupati, menggantikan suaminya.

Bahkan di Banten kerabat bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang saat ini menjalani hukuman penjara karena kasus korupsi juga kembali muncul dalam bursa kontestasi di sejumlah daerah di Banten.

Di Pilkada Tangerang Selatan (Tangsel), selain ada nama Saraswati dan Siti Nur Azizah, juga muncul nama Pilar Saga Ichsan yang diusung Partai Golkar sebagai bakal calon wakil wali kota. Pilar adalah anak Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah yang merupakan adik Ratu Atut Chosiyah. Pilar juga keponakan Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany sekaligus sepupu Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy. Adik Ratu Atut, Ratu Tatu kembali maju pada pemilihan bupati Serang.

Di Kota Cilegon, Ratu Ati Marliati, putri Tubagus Aat Syafaat, Wali Kota Cilegon 2000-2010, diusung Partai Golkar, Nasdem, dan Partai Gerindra untuk mengikuti Pilkada 2020. Ratu Ati menjabat Wakil Wali Kota Cilegon, ia juga adalah kakak Tubagus Iman Ariadi, Wali Kota Cilegon periode 2010-2015 dan kembali terpilih sebagai wali kota periode 2015-2021.

Pada 2017, Iman ditangkap KPK sedangkan Tubagus Aat Syafaat juga mantan terpidana kasus korupsi yang ditangani KPK, yaitu perkara korupsi pembangunan dermaga trestle Kubangsari Cilegon pada 2012.

Di Kabupaten Pandeglang, Bupati Irna Narulita dan Wakil Bupati Tanto Warsono Arban kembali maju bersama di Pilkada 2020. Irna ialah istri mantan Bupati Pandeglang yang kini anggota DPR, A Dimyati Natakusuma. Irna merupakan ibu dari anggota DPR, Rizki Aulia Rahman Natakusuma. Sementara Tanto, suami dari anggota Dewan Perwakilan Daerah Andiara Aprilia Hikmat, merupakan anak Ratu Atut.

Baca juga: Sufmi Dasco ikut jawab saat keponakan Prabowo ditanya dinasti politik

Politik dinasti

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha mengatakan politik dinasti atau politik kekerabatan (kinship politics) adalah fenomena yang sudah lama terjadi yaitu ketika penguasa mendasarkan legitimasi kekuasaannya melalui jalur keturunan dengan mengapitalisasi pertalian darah, kekayaan, spiritual hingga keahlian politik.

Penyebab pertama munculnya dinasti politik adalah nilai-nilai feodalisme masih kuat di Indonesia karena ada sisa psikologis nilai kerajaan/kesultanan hingga berujung pada personalisasi tokoh dan pada titik tertentu dinasti politik terbangun sejak lama.

Egi mencontohkan Soekarno yang dilanjutkan Megawati lalu Puan Maharani, kemudian Soeharto dilanjut Tutut, Tommy, Titiek Soeharto. Namun sebagai catatan, kemunculan Megawati atau anak-anak Soeharto tidak bersifat instan.

Egi menjelaskan bahwa Megawati perlu menghadapi rezim untuk muncul ke tataran politik hingga akhirnya berkuasa, selanjutnya anak-anak Soeharto menjadi anggota Partai Golkar setelah Soeharto berkuasa sekian lama.

Faktor kedua penyebab dinasti politik adalah demokrasi elektoral dengan sistem pemilu langsung menyandarkan pada popularitas dan politik uang.

Demokrasi elektoral dinilai membuka luas kesempatan setiap orang untuk mencalonkan diri namun yang diuntungkan adalah mereka yang sedang atau pernah berkuasa, populer, menguasai kekayaan atau punya basis dukungan yang kuat.

Baca juga: Pengamat sarankan Partai Demokrat tak terjebak politik dinasti

Artinya, desentralisasi dan demokrasi elektoral mempermudah kemunculan elit baru beserta keluarganya dalam politik, baik di level nasional maupun lokal.

Faktor ketiga adalah pembiaran dari elit politik dan representasi formal serta faktor keempat tidak ada gerakan sosial terutama kelas menengah ke bawah yang kuat untuk menolak politik dinasti

Menurut Egi, dinasti politik ini dapat menimbulkan sejumlah masalah, yaitu, pertama, nafsu untuk melanggengkan diri tidak bisa dikendalikan sehingga dapat menciptakan korupsi hingga pelanggaran HAM.

Masalah kedua, munculnya orang-orang dalam dinasti politik bukan ingin menjadikan politik sebagai upaya untuk mencapai kebaikan bersama (common good) tapi bertujuan untuk kepentingan pribadi, baik dirinya sendiri maupun keluarganya.

Masalah ketiga adalah tidak menekankan dari kemampuan atau kapasitas individu melainkan pada garis kekerabatan sehingga merusak sistem meritokrasi.

Masalah terakhir adalah merusak kesetaraan kesempatan bagi orang-orang yang tidak punya hubungan kekberapatan meski punya pengalaman dan kualitas sebagai pemimpin.

"Masalah dinasti politik ini tidak dapat dilihat dari kerangka demokrasi prosedural semata. Memang Indonesia punya kelengkapan alat demokrasi seperti parpol, pemilu, lembaga negara tapi dari kerangka substansial nilai dari demorkasi rusak karena tidak ada etika publik dan kesempatan warga berdemokrasi pun menjadi semu," ungkap Egi.

Sedangkan Wakil Direktur Pusat Kajian Riset dan Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriah mengatakan dinasti politik di Indonesia dapat disebut sebagai neo-patrimonial karena proses regenerasi kekuasaan bukan ditunjuk langsung seperti rezim sebelumnya tapi melalui demokrasi prosedural.

Dinasti politik tersebut terjadi di Indonesia karena parpol menjadi bentuk monarki baru di Indonesia karena dimiliki satu orang tokoh yang kekuasaan turun menurun, seperti di PDIP dan Partai Demokrat bahkan meluas lewat jalur pemilu dan pilkada sehingga melanggengkan kekuasaan dan kekayaan.

Politik kekerabatan pun dapat bertahan karena memiliki akses politik dan pendanaan yang kuat.

"Akses politik karena sebagian besar adalah petahana yang tengah menjabat atau menjadi pemimpin partai di daerah ditambah kepemimpinan politik di tingkat nasional memberikan kemudahan akses pencalonan," kata Peneliti CSIS Arya Fernandes.

Parpol yang bukan "dimiliki" keluarga juga dengan senang hati memilih orang yang punya hubungan kekerabatan dengan penguasa tertentu karena waktu pemilihan legislatif yang berjarak dengan pilkada serta faktor personal caleg dalam pileg.

Arya menilai jarak waktu yang panjang antara pileg dan pilkada tidak memberikan insentif ke partai untuk mendukung ke calon tertentu sejak awal sehingga partai akan "langsung" memilih orang-orang yang sudah punya modal kedekatan, popularitas hingga pendanaan yang kuat.

"Ada calon pemimpin daerah yang sudah pernah korupsi, masuk penjara tetap menang pilkada, tidak ada risiko yang dilihat parpol saat mencalonkan calon yang tidak punya kapasitas. Partai kecil pun pragmatis memberikan dukungan ke partai besar bila dijanjikan akses ke APBD atau regulasi dan kesulitan mendorong orang-orang yang bagus," tambah Arya.

Baca juga: Anggota DPR soroti penyebab munculnya dinasti politik dalam pilkada

Langkah selanjutnya

Untuk menyelesaikan masalah oligarki politik dinasti menurut Egi tidak bisa menggantungkan semata pada perbaikan undang-undang parpol atau pemilu.

"Perbaikan parpol membutuhkan perubahan regulasi, regulasi ada di DPR dan DPR terdiri dari parpol-parpol sehingga representasi formal sudah membusuk. Representasi formal ini juga sulit diubah karena dijaga aparatusnya baik 'ideology regime apparaturs' seperti 'buzzer' di medsos maupun 'repressive regime apparatus' misalnya kepolisian," ungkap Egi.

Tawaran untuk membuat upaya tandingan (counter) terhadap representasi formal yang membusuk yang dilakukan secara kolaboratif antara "civil society organization", media, akademisi hingga komunitas-komunitas di masyarakat.

Tujuan upaya tandingan itu adalah agar parpol tidak mencalonkan calon-calon pemimpin yang tidak punya kapasitas sejak awal dan masyarakat juga tidak perlu memilih orang-orang yang tidak kredibel atau bahkan hanya mementingkan keluarganya sendiri.
 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020