"Hal ini sekaligus membuktikan bahwa keberadaan lembaga tersebut sebenarnya tidak dibutuhkan di KPK," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Setidaknya, kata Kurnia, ada empat catatan dari ICW soal kinerja Dewas KPK tersebut.
Pertama, produk hukum tidak tepat sasaran. Ia mengatakan sebagaimana tertera dalam Pasal 37 B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 bahwa salah satu tugas dari Dewan Pengawas adalah menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK.
"Namun pada faktanya Dewas hanya membuat satu kode etik yang mencakup subjek pimpinan sekaligus pegawai KPK. Tentu ini penting untuk dikritisi bersama sebab potensi 'abuse of power' yang paling besar ada pada level pimpinan. Untuk itu, Dewas sebaiknya membedakan kode etik di antara keduanya," tuturnya.
Kedua, abai dalam melihat dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri.
Kurnia mengatakan pada akhir Januari lalu diketahui salah satu penyidik KPK yang bertugas untuk menangani perkara suap pergantian antar waktu Anggota DPR RI Kompol Rossa Purbo Bekti dikembalikan paksa oleh Ketua KPK.
Baca juga: Dewas KPK bahas 38 isu dengan pimpinan KPK dalam Rakorwas
Padahal, katanya, yang bersangkutan belum masuk dalam minimal batas waktu bekerja di KPK dan proses pengembalian tersebut juga tanpa adanya persetujuan dari pimpinan instansi asal atau Kapolri.
"Bahkan Kompol Rossa sendiri juga diketahui tidak pernah melanggar etik saat sedang bekerja di KPK. Tentu harusnya kejadian ini dapat dijadikan pemantik bagi Dewas untuk memproses dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua KPK," ungkap Kurnia.
Ketiga, membiarkan simpang siur informasi terkait pemberian izin penggeledahan.
Menurut dia, penanganan perkara yang melibatkan mantan calon legislatif asal PDIP Harun Masiku dan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan menyisakan banyak persoalan, salah satunya terkait dengan isu penggeledahan kantor DPP PDIP.
Dalam hal tersebut, ICW menilai terdapat silang pendapat antara Pimpinan KPK dan Dewas KPK. Pada pertengahan Januari lalu, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebutkan Pimpinan KPK telah mengirimkan surat izin penggeledahan Kantor DPP PDIP ke Dewas KPK, namun permintaan tersebut tidak kunjung ditindaklanjuti.
"Pernyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan oleh Dewas sendiri bahwa tidak ada satu pun permintaan dari penyidik yang ditolak sepenuhnya. Tentu hal ini mesti diklarifikasi, setidaknya untuk menjawab pertanyaan Nurul Ghufron atau Dewas yang berbohong kepada publik?," ujar Kurnia.
Baca juga: Dewas KPK terima aduan masyarakat penanganan kasus lama yang berlarut
Keempat, lambat memproses dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri terkait penggunaan helikopter mewah saat melakukan perjalanan di Sumatera Selatan.
Secara kasat mata, ucap Kurnia, tindakan dari Firli tersebut sudah dapat dipastikan melanggar kode etik karena menunjukkan gaya hidup hedonisme.
"Bahkan lebih jauh, tindakan Firli juga berpotensi melanggar hukum jika ditemukan fakta bahwa fasilitas helikopter itu diberikan oleh pihak tertentu sebagai bentuk penerimaan gratifikasi. Namun, Dewas sampai saat ini tidak kunjung menjatuhkan putusan terkait dugaan pelanggaran tersebut," ujarnya.
Ia pun mengatakan dengan dasar argumentasi tersebut dapat dikatakan bahwa kinerja Dewas KPK tidak lebih baik dibandingkan dengan Deputi Pengawasan Internal KPK pada era Undang-Undang KPK lama.
"Sebab, berkaca pada pengalaman sebelumnya, kedeputian tersebut terbukti pernah menjatuhkan sanksi pada dua orang Pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang. Namun, Dewas sampai saat ini di tengah ragam dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK tidak kunjung menjatuhkan sanksi terhadap yang bersangkutan," kata Kurnia.
Baca juga: Dewas KPK akan lakukan sidang etik pada Agustus 2020
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020