"Pertama, hal itu terjadi karena buruknya politik manajemen penanganan wabah oleh pemerintah sejak awal," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Abadi Tulus saat diskusi daring dengan tema klaim obat COVID-19 yang dipantau di Jakarta, Senin.
YLKI menilai sejak akhir Februari hingga saat kini, penanganan politik manajemen terkait pandemi oleh pemerintah masih kurang maksimal.
Baca juga: YLKI: 33,30 persen aduan terkait produk kesehatan selama pandemi
Kemudian, poin kedua ialah kurangnya literasi kepada masyarakat terkait produk obat-obatan selama pandemi terjadi.
Faktor ketiga yang mengakibatkan maraknya klaim obat bermunculan untuk penyembuhan COVID-19 berkaitan dengan aspek psikologis konsumen. Masyarakat menjadi takut terinfeksi karena hingga kini belum ada vaksin untuk penyembuhan.
"Akibatnya, banyak masyarakat mencari jalan ke luar sendiri untuk membuat obat dan melakukan pengobatan sendiri," katanya.
Secara undang-undang masyarakat dibolehkan melakukan pengobatan mandiri. Namun, jika produk tersebut dikomersilkan, iklan dan sebagainya maka bisa menjadi persoalan.
Selain itu, tekanan ekonomi yang terjadi akibat adanya pemutusan hubungan kerja dan pengurangan pendapatan mengakibatkan banyak orang mencari alternatif pemasukan lain salah satunya dengan cara klaim obat tersebut.
Baca juga: YLKI khawatirkan tes cepat abal-abal jika tidak ada standar kualitas
Terakhir, penyebab maraknya klaim obat COVID-19 ialah lemahnya atau kurang optimalnya penanganan aspek hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang telah terjadi.
"Saya kira empat hal ini yang melingkupi mengapa klaim obat COVID-19 itu menjadi marak," ujar dia.
Pada kesempatan itu, YLKI menyarankan pemerintah dalam memecahkan masalah klaim obat COVID-19 tidak bisa hanya dilihat dari aspek mikro tetapi juga makro termasuk dari hulu dan hilirnya.
Baca juga: YLKI: Penetapan tarif rapid test belum atasi masalah
Baca juga: YLKI: Kenaikan jumlah perokok pemula didorong masifnya iklan rokok
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020