• Beranda
  • Berita
  • Ahli: Kebijakan rendah karbon banyak, tapi implementasi belum

Ahli: Kebijakan rendah karbon banyak, tapi implementasi belum

11 Agustus 2020 20:24 WIB
Ahli: Kebijakan rendah karbon banyak, tapi implementasi belum
Pakar perubahan iklim Profesor Rizaldi Boer dalam suatu diskusi yang dilaksanakan di Jakarta Selatan, Selasa (10/3) (ANTARA/Prisca Triferna)

Executive Director CCROM-SEAP Institut Pertanian Bogor Rizaldi Boer mengatakan sudah banyak kebijakan yang mengarah ke ekonomi rendah karbon di Indonesia hanya saja implementasinya yang belum.

"Ini butuh waktu menurut saya. Ini terkait dengan penegakan hukum, insentif dan disinsentif, harus jelas di sana," kata Rizaldi dalam webinar Indonesia 2020 Vision on Climate Change yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diakses dari Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan untuk sektor hutan dan lahan sudah diketahui bersama banyak kebijakan yang sudah dikeluarkan untuk menyelesaikan persoalan terkait tumpang tindih dan tenurial (lahan masyarakat),  tapi belum banyak terlihat hasilnya.

Lalu terkait kebijakan tata ruang dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) juga sudah ada dan wajib dilakukan. Seharusnya, menurut dia, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sudah menerapkan KLHS tersebut sebagai isu utama sehingga ada pertanggunjawabannya.

Baca juga: Dubes Inggris: Energi rendah karbon berkontribusi positif pada ekonomi

Baca juga: PLN dorong penggunaan energi baru terbarukan rendah karbon


"Visi misi boleh berubah, tapi ada kunci kebijakan yang tidak boleh berubah meski pemerintahan berubah. Ini sangat bergantung juga pada pemahaman senator kita untuk kebijakan anggaran pembangunan rendah karbon," kata Rizaldi.

Implementasi kebijakan pembangunan rendah karbon menjadi tantangan di Indonesia, dan itu perlu "dipotret" ke dalam strategi pembangunan rendah emisi gas rumah kaca jangka panjang (LTS) yang akan diserahkan ke Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di kuartal ke-4 2020.

"Karena biasanya kita tahu secara teknis perencanaan secara baik, tapi non-teknis tidak kuat, akhirnya LTS hanya menjadi dokumen saja. Kita butuh ada beberapa alternatif pathway, dan jika bisa dibuat fleksibel dan kuat," ujar Rizaldi.

Intinya, menurut dia, LTS untuk rendah karbon haruslah kebijakan yang kondusif untuk mendukung pembangunan rendah karbon dan tangguh. Karenanya, perlu ada insentif dan disinsentif selain penegakan hukum untuk dapat mengimplementasikannya.

Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Emma Rachmawaty mengatakan LTS rendah karbon Indonesia ditargetkan selesai Desember 2020. Tentunya tanpa mengurangi kualitas dokumen itu sendiri, karenanya KLHK melakukan komunikasi menjaring masukan dari Kementerian/Lembaga, pakar, akademisi, dunia usaha, asosiasi, pemerintah daerah.

Penilaian, menurut dia, masih dikerjakan di masing-masing sektor yang menjadi target penurunan emisi GRK, dan saat ini baru mendiskusikan sektor energi dan kehutanan. Untuk sektor kehutanan belum masuk tahap final, dan untuk energi memang ada beberapa hambatan pelaksanaan procurement, mobilisasi barang dan pendanaan di 2020 karena pandemi COVID-19.

"Yang pasti 2030 tidak boleh back sliding. Pandemi tidak jadi alasan menurunkan target penurunan emisi Indonesia. Justru dari paparan kami terlihat tuntutan menaikkan ambisi lebih tinggi lagi tapi patokannya tetap 29 persen turun," ujar Emma.

Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan bantuan pihak luar di 2030 sesuai Paris Agreement.*

Baca juga: Intensitas emisi diproyeksikan turun 22 persen dengan pelaksanaan LCDI

Baca juga: Pertanian tanpa bakar masuk Pembangunan Rendah Karbon Indonesia

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020