Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Munawir Yusuf mengatakan pendidikan dasar tentang kesehatan reproduksi sangat penting diketahui remaja, terutama remaja penyandang disabilitas, sehingga mereka bisa mengambil cara penanganan yang tepat.pengetahuan kesehatan dasar bagi penyandang disabilitas netra itu sangat penting
"Saya sempat mewawancara yang kira-kira mewakili kelompok tunanetra. Mereka mengatakan bahwa pengetahuan kesehatan dasar yang minimal bagi penyandang disabilitas netra itu sangat penting," kata Munawir Yusuf yang juga merupakan Kepala Pusat Studi Difabilitas (PSD) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ( LPPM) UNS dalam acara webinar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) bertema Bersama Remaja Disabilitas Tingkatkan Program Genre pada Adaptasi Kebiasaan Baru, Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan pendidikan dasar tentang kesehatan reproduksi itu sangat penting bagi para remaja, terutama remaja penyandang disabilitas, karena mereka membutuhkan informasi tersebut.
Informasi yang mereka butuhkan, katanya, mulai dari hal-hal dasar seperti tentang seberapa lama seseorang perlu mengganti celana dalam, informasi tentang periode menstruasi dan cara penanganannya bagi remaja disabilitas perempuan.
Hasil wawancara terhadap remaja disabilitas menemukan bahwa mereka tidak mengetahui cara mengatasi masalah-masalah kesehatan reproduksi yang dihadapi saat memasuki masa remaja.
"Cara bagaimana memakai pembalut, kenapa harus mandi besar dan sebagainya. Itu sangat penting bagi mereka," katanya.
Baca juga: Pemerintah diharapkan terus dorong pemberdayaan penyandang disabilitas
Baca juga: Pengamat: Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas masih jadi masalah
Pengetahuan dasar tentang kesehatan reproduksi itu sangat dibutuhkan bagi remaja penyandang disabilitas. Dan mereka, kata Munawir, selama ini tidak pernah diberikan penjelasan secara tuntas tentang hal itu.
Kemudian, terkait apa saja yang dikehendaki remaja disabilitas dalam pendidikan reproduksi adalah bahwa mereka sebenarnya menginginkan agar pendidikan disampaikan dalam bentuk praktik.
"Praktik ini jangan dikonotasikan dengan praktik yang sebenarnya. Tetapi misalnya ketika menjelaskan kapan seseorang disebut remaja dan apa saja yang berubah, maka itu perlu ditunjukkan dengan boneka. Dan itu pun juga perlu ada penjelasan yang operasional," katanya.
Selain itu, Munawir juga mengatakan bahwa penyandang disabilitas, terutama penyandang tunanetra, sesungguhnya memiliki perasaan yang lebih sensitif dibandingkan remaja nondisabilitas pada umumnya.
"Misalnya ketika mereka berjalan, tidak melihat, dan kemudian menabrak orang atau tangannya menyinggung badan orang, maka mereka cenderung akan khawatir.
"Jangan-jangan yang disentuh adalah barang vital orang lain, yang kemudian mereka menjadi sangat tersinggung," ujarnya.
Dalam hal asmara, Munawir mengatakan bahwa remaja penyandang disabilitas juga pada dasarnya sama seperti remaja pada umumnya, meski mereka memiliki sedikit kekhawatiran tentang kemungkinan penerimaan orang lain terhadap mereka.
"Kalau mereka tunanetra sejak lahir, pada umumnya mereka menghendaki pasangannya nanti juga sesama tunanetra. Tapi kalau mereka pernah melihat dan kemudian menjadi tunanetra misalnya setelah mengalami kecelakaan, maka mereka cenderung menginginkan pasangan yang bukan tunanetra," ujarnya.
Meski demikian, Munawir mencatat ada hal yang perlu diperhatikan dengan hati-hati ketika penyandang tunanetra berteman dengan lawan jenis yang nondisabilitas.
"Berteman dengan yang bukan tunanetra, apalagi dengan lawan jenis itu juga perlu hati-hati. Mereka mengingatkan bahwa jika sudah masuk masa remaja, kemudian mereka berteman dengan yang nontunanetra, mereka responsnya positif, maka itu dianggap bahwa mereka (yang nondisabilitas) mau menjadi pacarnya. Sementara orang lain yang merespons positif itu kadang-kadang sama sekali tidak ada pikiran tentang itu," katanya.
Untuk hal itu, Munawir mengatakan jika tidak ada ketertarikan dari teman yang nondisabilitas, maka ia perlu menyampaikan posisinya dalam hubungan tersebut sejak awal, bahwa tidak ada hubungan lain selain hubungan pertemanan.
"Jadi di awal dia harus mengatakan itu. Bisa jadi ketika kita mengatakan itu, bisa jadi mereka akan tersinggung ketika tidak hati-hati. Tetapi kalau tidak dikatakan dari awal, jangan-jangan kebaikan kita ditafsirkan dianggap sebagai pacar. Ini hal-hal yang sangat penting diperhatikan bersama," demikian kata Munawir.
Baca juga: Rompi "Penganthi" bantu mobilitas disabilitas sensorik netra
Baca juga: Balai Abiyoso bangun peradaban literasi penyandang disabilitas
Pewarta: Katriana
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020