Ray Rangkuti di Jakarta, Kamis, mengingatkan bahayanya politik identitas itu karena juga berpotensi terjadi kembali dalam pemilihan kepala daerah yakni Pemilihan serentak 2020.
"Dan inilah persoalan terbesar di dalam politik identitas yang saya tidak yakin tidak akan terjadi di 2020, meskipun saya sudah mulai memetakan relatifnya di beberapa tempat kelihatan aman, tetapi tidak ada jaminan tidak akan terjadi," kata dia.
Praktik politik identitas memang tidak semasif intensitas dari penggunaan politik uang dan juga politik dinasti, grafiknya juga tidak naik terus-menerus atau lebih fluktuatif. Daerah juga tidak banyak yang menggunakan politik identitas tersebut.
Namun, pelaksanaan demokrasi di Indonesia menerima dampak buruk yang jauh lebih besar dari penggunaan praktik politik identitas.
"Ancaman politik identitas ini jauh lebih berbahaya dari politik uang, karena tiga sebab, pertama politik identitas tidak bersifat temporal seperti politik uang, politik uang dia hanya berlaku pada waktu tertentu saja," kata dia.
Ray menjelaskan tidak ada praktik politik uang yang terjadi setelah kepala daerah terpilih ditetapkan atau praktik ini akan berakhir dalam waktu tertentu, namun politik identitas tetap terjadi meski kepala daerah sudah menjabat, contohnya pada kasus di Pilkada DKI Jakarta 2017.
Kemudian politik uang hanya bersifat lokal terjadi di daerah pemilihan saja, sementara politik identitas meskipun satu daerah yang menyelenggarakan pilkada namun pengaruhnya bisa menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.
"Justru sebaliknya jadi kasusnya temporal, lokalistik, tapi efeknya justru menyebar, dan panjang, dia terjadi di satu tempat tapi meluas efeknya sampai ke seluruh Indonesia," kata Ray.
Praktik politik identitas juga memicu keterbelahan di tengah masyarakat, dan hal itu tidak terjadi di politik uang. Contohnya, kejadian di Pilkada DKI Jakarta sampai sekarang hampir belum bisa sembuh luka akibat politik identitas.
"Karena saya kira dimana-mana politik identitas tidak didekati melalui pendekatan rasional, umumnya melalui pendekatan yang bersifat emosional dan oleh karena itulah kemudian kecenderungan kritis terhadap praktik ini juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan politik uang," ucapnya.
Hal lain yang membuat praktik politik identitas lebih berbahaya kata dia akan memicu kekerasan, sementara hal itu tidak ditemukan di praktik politik uang.
"Praktik politik uang tidak pernah membuat kekerasan dalam pelaksanaan pemilu kita, tidak pernah dengar ada TPS yang dibakar karena kandidat dia tidak bayar janji politik uangnya," ujar Ray.
Baca juga: Prabowo sisakan masalah bagi kekuatan politik identitas
Baca juga: Pengamat: Politik identitas akan terus berlanjut di Pilkada 2020
Baca juga: Komnas HAM: Intoleransi dipicu dari politik identitas
Baca juga: Peneliti LIPI: Permasalahan Indonesia bukan radikalisme
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020