• Beranda
  • Berita
  • Jimly: Sistem pengadilan etik dinilai dibutuhkan untuk persoalan etika

Jimly: Sistem pengadilan etik dinilai dibutuhkan untuk persoalan etika

14 Agustus 2020 00:06 WIB
Jimly: Sistem pengadilan etik dinilai dibutuhkan untuk persoalan etika
Pakar hukum tata negera yang juga Ketua Umum ICMI Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie usai Konpers: Refleksi Akhir Tahun dan Rekomendasi Silaknas ICMI tahun 2019 di ICMI Center Jakarta, Jumat (27/12/2019). (ANTARA/Katriana)

Tidak relevan menilai sesuatu yang tidak melanggar hukum dengan kacamata etika

Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menilai sistem pengadilan etik dibutuhkan untuk segera dibangun agar persoalan etika ditangani khusus, bukan bercampur dengan persoalan hukum.

"Saya merasa ini saatnya memperkenalkan pentingnya rekonstruksi dan pelembagaan sistem pengadilan etik," ujar Jimly Asshiddiqie dalam diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Kamis.

Etika disebutnya sama penting dengan hukum sehingga sudah saatnya peradilan etik dengan tempat banding tertinggi atau kasasi etik ditangani sebuah mahkamah tertinggi dalam bidang etika.

Ia mencontohkan dalam kasus pemberhentian tetap Komisioner KPU Ri Evi Novida Ginting yang melibatkan lembaga etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) serta lembaga hukum Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), putusan PTUN tidak berkaitan dengan pelanggaran etika yang sudah dibuktikan dalam sidang DKPP.

"Tidak relevan menilai sesuatu yang tidak melanggar hukum dengan kacamata etika," kata Jimly.

Baca juga: DKPP tegaskan tak akan cabut sanksi pemberhentian Evi Novida Ginting
Baca juga: Dewas KPK akan lakukan sidang etik pada Agustus 2020


Untuk itu, ia mendorong sistem peradilan hukum dan peradilan etika berjalan dengan berkolaborasi secara terpisah, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai puncak peradilan hukum serta sebuah mahkamah untuk tempat banding persoalan etika.

Adapun Presiden Joko Widodo mencabut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P/2020 tentang pemberhentian secara tidak hormat anggota KPU Evi Novida Ginting, setelah PTUN mengabulkan permohonan komisioner periode 2017-2022 itu pada 23 Juli 2020.

Evi dipecat dari jabatannya sebagai anggota KPU setelah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutus adanya pelanggaran etik dalam kasus perselisihan perolehan suara calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat daerah pemilihan Kalimantan Barat 6 dari Partai Gerindra.

Baca juga: Persidangan etik DKPP disarankan tidak dibatasi waktu
Baca juga: Dewas KPK segera rampungkan laporan pelanggaran etik Firli Bahuri

 

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020