Program tersebut merupakan kelanjutan dari "legislative review" yang pernah digagas Bambang Soesatyo (Bamsoet) saat dirinya menjabat Ketua DPR RI.
"Sejak didirikan pada tahun 2003, hingga tahun 2020 ini Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima 2.088 perkara uji materi terhadap 699 UU. Produk UU di Indonesia jumlahnya sangat banyak sekali, tak menutup kemungkinan masih akan ada lagi yang dibawa ke MK. Sejauh mana kesesuaian ribuan UU tersebut dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, perlu ditelusuri lebih jauh," kata Bamsoet, di Jakarta, Rabu.
Hal tersebut disampaikan politikus senior Partai Golkar itu saat menerima pengurus Iluni UI 2019-2022, di Ruang Kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Rabu.
Baca juga: MPR: Diperlukan Pokok-Pokok Haluan Negara dalam konstitusi
"MPR RI sebagai bagian dari 'penjaga konstitusi' punya kepentingan memastikan napas Pancasila dan UUD NRI 1945 selalu berada dalam setiap UU yang dihasilkan, sehingga tak memberatkan beban kinerja MK," katanya.
Pengurus Iluni UI 2019-2022 yang hadir antara lain Ketua Umum Andre Rahadian, Bendahara Umum Ratu Febriana Erawati, Wakil Sekjen Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, Policy Center Rizky, Project Officer Devandra Maula Zakki, dan Ketua Iluni Fakultas Hukum UI Ashoya Ratam.
Dalam pertemuan tersebut, Ketua Iluni Fakultas Hukum UI Ashoya Ratam juga membahas seputar pandemi COVID-19 yang telah membuat dunia kerja terhambat, salah satunya menimpa profesi pelayanan di bidang hukum.
Berbeda dengan pengacara yang bisa memberikan pelayanan konsultasi secara "online", serta pelaksanaan proses peradilan melalui elektronik sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020, untuk profesi notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) belum tersentuh kemudahan melakukan pekerjaan secara "online".
Alasannya, kata dia, karena ketentuan kehadiran fisik dalam membacakan dan penandatanganan akta.
Baca juga: Bamsoet nilai hari konstitusi momentum evaluasi sistem ketatanegaraan
Padahal, jika dilihat lebih jauh ketentuan kehadiran fisik tersebut sebenarnya tak tertuang secara langsung dalam UU Nomor 12/2011 yang kemudian diubah dengan UU Nomor 15/2019 tentang Jabatan Notaris.
Pasal 16 ayat 1 huruf M menyatakan bahwa notaris wajib membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi, atau empat orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris.
Ketentuan keharusan hadir secara fisik terdapat dalam bagian Penjelasan Pasal 16 ayat 1 huruf M.
"Karena pandemi COVID-19 membuat kita harus menerapkan 'social and physical distancing', maka ketentuan harus hadir secara fisik yang terdapat dalam bagian Penjelasan, seyogianya bisa juga ditafsirkan hadir secara virtual. Sedangkan tanda tangan basah, bisa diganti dengan tanda tangan elektronik yang tersertifikasi. Toh tak mengurangi esensinya, sebagaimana juga sudah diterapkan oleh profesi notaris di berbagai negara seperti Australia," kata Bamsoet.
Lebih jauh, Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan agar tak menjadi permasalahan hukum di kemudian hari terhadap produk hukum yang dihasilkan notaris terhadap kehadiran virtual dan tanda tangan elektronik, Kementerian Hukum dan HAM perlu membuat peraturan tersendiri.
Baca juga: Bamsoet dukung pembentukan Mahkamah Etik
Sebagaimana MA mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang legalitas peradilan elektronik, maupun Kejaksaan Agung yang mengeluarkan Instruksi Jaksa Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Kebijakan Pelaksanaan Tugas dan Penanganan Perkara Selama Masa Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia.
"Dengan demikian, notaris dan PPAT tak perlu dilema menjalankan tugasnya. Mereka tetap bisa bekerja melayani kebutuhan hukum masyarakat di tengah pandemi COVID-19 tanpa perlu takut terpapar virus. Masyarakat serta notaris dan PPAT sama-sama terlindungi," kata Bamsoet.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020