Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Indonesia Keumala Dewi mengatakan anak petani sawit skala kecil rentan alami kemiskinanUntuk anak, kemiskinan berarti tidak mendapat akses pada aspek utama dalam hak dasarnya yakni keberlangsungan hidup, nutrisi yang layak, kesehatan, air, pendidikan, perlindungan dan keseahatan.
"Anak-anak dalam keluarga petani sawit skala kecil menanggung risiko yang lebih dari anak lain, karena mereka rentan mengalami kemiskinan pada anak. Kemiskinan pada anak bukan hanya kemiskinan dalam aspek finansial. Ini adalah persoalan multidimensi," kata Keumala dalam seminar virtual "Ketahanan Keluarga dan Pemenuhan Kepentingan Terbaik Bagi Anak pada Masyarakat Perkebunan Kelapa Sawit"di Jakarta, Rabu.
Seminar itu diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak dan Unicef.
Untuk anak, kemiskinan berarti tidak mendapat akses pada aspek utama dalam hak dasarnya yakni keberlangsungan hidup, nutrisi yang layak, kesehatan, air, pendidikan, perlindungan dan keseahatan.
Keumala menuturkan ketika anak dilibatkan dalam bekerja di perkebunan sawit skala kecil, orang tua dari anak tersebut menilai itu sebagai bagian dari transfer ilmu dan bagian dari pembelajaran dari kehidupan nyata.
Baca juga: Legislator: Dana BPDPKS harus jadi stimulus petani naik kelas
Dia menuturkan ada kesenjangan dalam penerapan praktik pertanian yang baik, penerapan standardisasi usia minimum bekerja dan standar kesejahteraan dasar khususnya hak anak.
40 persen total lahan kelapa sawit di Indonesia dimiliki petani sawit skala kecil.
Kurangnya pemahaman terhadap praktik pertanian baik menyebabkan petani sawit skala kecil tidak mendapat cukup pengetahuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan membuat lahan produktif sehingga pendapatan yang diperoleh tidak cukup optimal untuk menunjang kesejahteraan mereka. Mereka justru lebih banyak mengarah pada ekspansi lahan.
Petani sawit skala kecil menghadapi berbagai masalah keterbatasan akses seperti akses terhadap hak dasar, benih berkualitas, finansial, dan kesehatan.
Petani sawit skala kecil mengalami kurangnya literasi keuangan. Mereka juga kesulitan mendapatkan harga yang layak dari perusahaan dikarenakan adanya tengkulak.
Petani sawit skala kecil itu merepresentasikan komunitas yang terpencil dan tertinggal. "Karena terpencil ada akses-akses hak dasar yang tidak terpenuhi," ujarnya.
Baca juga: BPDP-KS siapkan penguatan petani sawit
Dalam rantai pasok global, petani sawit skala kecil ditempatkan di tempat yang paling awal dari rantai, sebagai penghasil bahan mentah. Mereka rentan sekali terdampak pada fluktuasi pasar. Banyak faktor yang mendukung fluktuasi itu mulai dari harga benih, kompleksitas, standardisasi, kondisi alam, dan terlalu banyak tengkulak.
Keumala mengatakan dalam membangun ketangguhan atau ketahanan keluarga petani sawit skala kecil, tidak bisa hanya dari internal keluarga saja karena kompleksitas yang dihadapi tidak mudah termasuk didalamnya keterbatasan akses terhadap benih, finansial, dan lahan.
Sehingga untuk memampukan mereka memenuhi hak dasar, mereka harus dimampukan dulu untuk mengelola lahan dan benih dan melakukan praktik pertanian yang baik.
Keumala mengatakan ada empat indikator yang dijadikan pertimbangan ketika berupaya membangun keluarga petani sawit skala kecil yang tangguh, yakni peran aktif pemerinatah dan perusahaan dalam mendorong kemandirian petani sawit; petani mampu mengontrol aset dan komoditasnya sehingga daya tawar mereka naik; petani mampu memenuhi hak dasar; serta petani mampu bertahan dalam menghadapi guncangan ekonomi dan bencana alam dan non alam.
"Model ketangguhan keluarga petani sawit harus dikembangkan dengan setidaknya mengacu pada kemampuan petani sawit dalam kontrol terhadap aset tanah atau lahan dan komoditas yang dihasilkan," tuturnya.
Baca juga: Petani minta dana pungutan BPDPKS dialokasikan jadi bantuan tunai
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020