Sampai 2020, Indonesia mendanai 34 persen dari total kebutuhan pembiayaan perubahan iklim
Indonesia berpotensi memperoleh sekitar 160 juta dolar AS atau sekitar Rp2,3 triliun lagi setelah Green Climate Fund (GCF) mengucurkan 103,78 juta dolar AS atau sekitar Rp1,53 triliun untuk keberhasilan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan plus (REDD+).
"Kami masih bekerja untuk berinteraksi lagi dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dan BioCarbon Fund. harapannya ada reward dan pengakuan lagi ke Indonesia," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam konferensi pers daring bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani diakses dari Jakarta, Kamis.
Dari REDD+ yang merupakan salah satu program pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) pada sektor kehutanan yang telah ditetapkan sebagai salah satu sektor yang harus berkontribusi pada target penurunan emisi GRK nasional, sebagaimana tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia baru saja memperoleh lebih dari 103 juta dolar AS pembayaran berdasarkan hasil (result base payment) dari GCF untuk penurunan emisi tahun 2017.
Sebelumnya, untuk keberhasilan yang sama dari program REDD+, Indonesia juga memperolah 56 juta dolar AS atau sekitar Rp823,76 miliar setara dengan 11,2 juta ton CO2 equivalent (tCO2eq) dari total 800 juta dolar AS atau sekitar Rp11,7 triliun didasarkan Letter of Intent (LoI) dengan Norwegia untuk periode kerja sama 2020-2030.
Selanjutnya, menurut dia, Indonesia masih memiliki potensi untuk memperoleh sekitar 110 juta dolar AS dari Bank Dunia melalui FCPF untuk periode pendanaan 2021, 2023 dan 2025 dari program penurunan emisi dan pencegahan kerusakan hutan di Kalimantan Tengah. Selain itu, ada pula potensi dana lebih dari 60 juta dolar AS dari BioCarbon Fund untuk periode 2023-2025 dari program REDD+ di Jambi.
Berdasarkan data KLHK di 2018, capaian penurunan emisi GRK Indonesia hingga 2017 mencapai 24,7 persen. Tingkat emisi business as usual (BaU) di 2017 mencapai 1.800 MtonCO2eq, sementara tingkat emisi aktual di tahun yang sama mencapai 861 MtonCo2eq.
Siti mengatakan sudah ada arahan dari Presiden Joko Widodo, agar dana-dana yang diperoleh dari REDD+ tersebut digunakan kembali untuk pemulihan lingkungan, termasuk merehabilitasi hutan dan lahan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta kementerian/lembaga lainnya untuk tujuan penurunan emisi GRK.
Dana tersebut akan dikelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) di bawah Kementerian Keuangan, sebagai modal menurunkan emisi GRK sesuatu target NDC Indonesia, yakni 29 persen di 2030 jika dilakukan dengan upaya sendiri atau 41 persen jika mendapat bantuan internasional.
Baca juga: Ahli: Kebijakan rendah karbon banyak, tapi implementasi belum
Baca juga: Ahli: Target NDC perlu naik 5 kali lipat hadang dampak perubahan iklim
Kebutuhan dana
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan seluruh dana tersebut akan dikelola BPDLH yang merupakan Badan Layanan Umum (BLU) yang dikelola Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yang kemudian badan tersebut akan mendanai berbagai aktivitas untuk pengelolaan lingkungan hidup. Itu merupakan dana hasil dukungan internasional yang bisa digunakan untuk mendanai aktivitas-aktivitas penurunan emisi GRK.
Menurut dia, apa yang diperoleh Indonesia dari GCF lebih tinggi dari yang diperoleh Brasil. Pemilik hutan Amazon tersebut pada 19 Agustus lalu mendapat 96,452 juta dolar AS dari hasil penerapan REDD+.
Beberapa negara lain yang juga memperoleh pendanaan pengendalian perubahan iklim yakni Chile yang mendapat 63,607 juta dolar AS, Ekuador mendapat 18,57 juta dolar AS dan Paraguay mendapat 50 juta dolar AS dari GCF untuk keberhasilan menerapkan REDD+.
Indonesia, kata Sri Mulyani, membutuhkan dana sangat besar untuk memenuhi target NDC, untuk itu Kementerian Keuangan sudah mengembangkan mekanisme penandaan anggaran belanja kementerian untuk aktivitas terkait perubahan iklim (climate budget tagging).
"Kalau dilihat semenjak kami melakukan climate budget tagging dari 2016-2020, alokasi anggaran untuk perubahan iklim mencapai Rp89,6 triliun per tahun. Sampai 2020, Indonesia mendanai 34 persen dari total kebutuhan pembiayaan perubahan iklim yang mencapai Rp3.461 triliun atau rata-rata Rp266,2 triliun per tahun," ujar dia.
Ada gap 66 persen pendanaan untuk dapat memenuhi target penurunan emisi GRK sesuai NDC. Ia mengatakan ada penurunan penganggaran di 2020 karena prioritas penanganan pandemi COVID-19, namun harapannya Indonesia tetap menjaga komitmen tersebut.
"Nah gap itu sebetulnya diambil dari komitmen internasional. Pendanaan untuk tangani perubahan iklim ini saat Paris Agreement, negara maju berkomitmen memberikan 100 miliar dolar AS per tahun sampai 2020," ujar dia.
Paris Agreement di 2015 tidak saja menyepakati pendanaan dari negera maju untuk negara berkembang dan negara-negara berpendapatan rendah untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tetapi juga menjanjikan transfer teknologi.
Baca juga: Indonesia bisa rugi 6 persen dari PDB karena perubahan iklim di 2100
Baca juga: Menristek sebut photovoltaic jadi upaya mitigasi perubahan iklim
Dukungan fiskal
Selain menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), pemerintah juga mengeluarkan instrumen fiskal perpajakan dengan memberikan tax holiday maupuan tax allowance untuk sektor energi terbarukan. Termasuk pembebasan bea masuk dan PPN untuk sektor tersebut, ujar Sri Mulyani, termasuk panas bumi.
"tu langkah-langkah untuk mendukung sumber energi yang sustaint dan less carbon emission," katanya.
Pemerintah juga melakukan belanja mitigasi dan adaptasi di kementerian/lembaga, juga menciptakan dana insentif daerah yang memiliki kemampuan menjaga lingkungan hidup melalui dana transfer fiskal berbasis ekologi.
Inovasi pembiayaan juga dilakukan sebagai sumber pendanaan lingkungan yang juga dapat digunakan untuk pengendalian perubahan iklim dengan mengeluarkan surat hutang negara yang berbasis syariah dan berbasis perubahan iklim, atau dalam hal ini proyek yang ramah iklim dan sesuai komitmen perubahan lingkungan bernama Green Sukuk.
Green Sukuk tersebut pertama kali dikeluarkan 2018 sebesar 1,25 miliar dolar AS, lalu diterbitkan lagi di 2019 sebesar 150 juta dolar AS, diikuti Green Sukuk Ritel di 2019 yang berhasil menghasilkan Rp1,64 triliun.
"Artinya secara internasional perhatian untuk bisa mendanai dari budget untuk kegiatan-kegiatan yang dianggap baik untuk lingkungan atau dalam hal ini climate change itu appetide nya sangat besar. Maka kita bisa membuat instrumen pembiayaannya," ujar Sri Mulyani,
Selain itu, menurut dia, masyarakat juga semakin peduli dengan banyaknya dari mereka yang membeli investasi dalam bentuk Green Sukuk yang ritel. Pada 2020, pemerintah kembali menerbitkan 750 juta dolar AS Green Sukuk yang ketiga.
Pemerintah, lanjut Sri Mulyani, juga membentuk SDG Indonesia One yang merupakan platform pendanaan campuran atau blended finance platform yang dioperasionalisasikan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk memfasilitasi pelibatan filantropi, agen donor internasional, alokasi bantuan, investor hijau, bank komersial, multilateral development banks (MDBs) dan lain-lain untuk dapat digunakan dalam pengendalian perubahan iklim atau SDG.
Sri Mulyani mengapresiasi kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sehingga Indonesia diakui secara internasional dan memperoleh dukungan pendanaan untuk mewujudkan komitmen Indonesia melestarikan lingkungan dan mengendalikan perubahan iklim.
Harapannya, apa yang dicapai saat ini menambah percaya diri bagi masyarakat Indonesia atas kemampuan segenap bangsa bergotong-royong mengupayakan pengendalian perubahan iklim. Pesan kuat untuk para millennial untuk juga ikut merasa memiliki program REDD+ agar target penurunan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan terus dapat dilakukan.
Baca juga: Sri Mulyani siapkan Rp89,6 triliun per tahun untuk perubahan iklim
Baca juga: Kearifan lokal dan teknologi dapat bantu petani hadapi perubahan iklim
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020