Matahari masih sepenggalan saat Riko (35) memacu kendaraan roda duanya sejauh 43 kilometer menuju sekolah tempatnya mengajar.Kesulitannya, karena mereka tidak ada yang bisa mengajarinya di rumah. Sebagian besar orang tua mereka tidak bisa baca tulis.
Pagi itu jalan yang dilaluinya masih lengang. Tidak banyak aktivitas di jalan yang mengikuti alur Sungai Indragiri tersebut.
Jalanan yang dilaluinya pun tidak sepenuhnya beraspal, sebagian besar masih jalan tanah berlubang. Kalau hujan, jalanan itu berubah menjadi kolam-kolam mini.
Berkali-kali, ia harus mengurangi laju kendaraannya agar tidak terperosok ke dalam lubang-lubang yang menghiasi jalan tersebut.
Dari jalan besar, ia mengalihkan kendaraannya ke jalan tanah yang berbatu dan penuh tanjakan sejauh tiga kilometer. Sekolah tempatnya mengabdi yakni SDN 28 Talang Sungai Limau, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
"Untung panas hari ini, kalau hujan terpaksa kita mendorong motor ke sekolah. Biasanya kami berjalan kaki dari jalan besar itu ke sini," kata Riko, saat ditemui di Indragiri Hulu, Riau, akhir pekan lalu.
Begitu sampai di sekolah, Riko disapa dan disambut sejumlah murid yang menghampirinya. Ada yang mengenakan seragam sekolah dan ada yang mengenakan baju bebas. Tidak ada salam model dulu, kedua tangan Riko hanya ditangkupkan di dada saat murid-muridnya ingin bersalaman dengannya.
Sejak dua tahun lalu, Riko mengabdi di sekolah yang berada di tengah hutan tersebut. Tidak ada listrik maupun jaringan internet di sekolah itu. Di kiri dan kanan sekolah itu terdapat hutan adat.
Sekolah yang didirikan lima tahun silam itu terdiri atas dua bangunan. Satu bangunan permanen dan satu lagi bangunan kayu. Satu ruangan pun disekat dan dibagi menjadi dua kelas. Ada satu bangunan terbuka yang dijadikan perpustakaan. Bangunan terbuka tersebut hasil CSR perusahaan.
Hampir 99 persen murid sekolah tersebut adalah anak-anak Suku Talang Mamak. Suku Talang Mamak merupakan suku asli Indragiri Hulu yang tinggal di pedalaman kabupaten tersebut. Saat ini, Suku Talang Mamak masih hidup dengan tradisi leluhurnya.
Sekolah tersebut kembali dibuka pada 18 Agustus lalu, setelah hampir lima bulan melakukan pembelajaran di rumah akibat pandemi COVID-19. Zona di kabupaten itu merupakan zona kuning.
Guru olah raga tersebut mengaku bersyukur pembelajaran tatap muka kembali dibuka di sekolah itu. Pasalnya, sekolah itu mengalami kendala dalam melakukan pendidikan jarak jauh (PJJ) karena tiadanya jaringan internet dan listrik. Sehari-hari masyarakat setempat masih menggunakan lampu minyak.
Baca juga: Suku Talang Mamak, kini mereka menolak hidup dalam ketidaktahuan
PJJ dilakukan dengan metode luar jaringan (luring). Saban minggu siswa ke sekolah hanya untuk mengambil dan mengumpulkan tugas yang diberikan gurunya.
"Paling susah memotivasi anak-anak untuk belajar kalau belajar dari rumah. Apalagi anak-anak Suku Talang Mamak ini, karena di rumah, mereka harus membantu orang tuanya bekerja di ladang," terang dia.
Menurut dia, murid di sekolahnya sangat membutuhkan suntikan motivasi dari para guru. Beberapa tahun yang lalu, sulit mencari anak untuk sekolah. Bahkan tak jarang, gurunya yang mendatangi warga dan meminta mereka menyekolahkan anaknya.
"Sekarang sudah lumayan, ada 55 murid di sekolah ini dari kelas satu hingga enam," kata dia.
Kembali ke sekolah
Seorang siswa kelas tiga, Amanda, mengaku senang sekolahnya kembali dibuka untuk pembelajaran tatap muka. Meskipun jam belajarnya tidak selama sebelumnya, Amanda mengaku senang bisa kembali bertemu guru dan teman-temannya.
"Enak belajar di sekolah, banyak teman. Kalau di rumah belajar sendiri, tidak ada yang mengajarkan," kata Amanda.
Pembelajaran tatap muka hanya dilakukan selama dua jam setiap harinya. Itu pun dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Amanda yang rambutnya selalu dikuncir itu, tinggal bersama orang tua dan dua kakaknya. Jarak rumahnya ke sekolah sekitar lima kilometer. Setiap pagi, Amanda dan teman-temannya berjalan kaki ke sekolah. Hal itu tampak dari tanah yang menempel di sepatunya.
Saat pembelajaran dilakukan di rumah, Amanda mengaku kesulitan belajar seorang diri. Kedua orang tuanya tidak bisa baca tulis, sementara kedua kakaknya juga sibuk membantu orang tuanya menakik pokok getah (menyadap pohon karet). Tak jarang, Amanda disuruh orang tuanya ke kebun untuk membantu.
"Dikumpulkan seadanya. Habisnya kami tidak mengerti. Nanti di sekolah baru dijelaskan sama gurunya," jelas Amanda.
Amanda mengatakan dirinya tidak bisa belajar bersama temannya, karena jarak antarsatu rumah ke rumah lainnya cukup jauh. Rumah Suku Talang Mamak merupakan rumah panggung yang terbuat kayu.
Ungkapan senada juga disampaikan siswa kelas lima, Dino, yang mengatakan lebih senang kembali ke sekolah dibandingkan harus belajar di rumah.
"Senang berjumpa dengan kawan-kawan," kata Dino yang saat ditemui asyik bermain bola di halaman sekolah.
Saat belajar di rumah, Dino mengaku jarang mengerjakan tugas. Waktunya banyak dihabiskan membantu orang tuanya di kebun. Hanya sesekali, ia membuka buku pelajaran.
"Di rumah tidak ada yang mengajarkan," cetus Dino.
Baca juga: Pantau PJJ, Nadiem ingin siswa kembali ke sekolah seaman mungkin
Berkumpul bersama teman dan gurunya, memotivasi Dino untuk belajar. Sepulang sekolah, Dino masih bisa membantu orangtuanya di ladang.
Kepala SD 28 Talang Sungai Limau, Sagiman, mengatakan PJJ sulit diterapkan di sekolahnya yang berada di tengah hutan tersebut. Selain ketiadaan akses internet dan listrik, juga tidak ada yang mendampingi anaknya belajar di rumah.
"Kesulitannya, karena mereka tidak ada yang bisa mengajarinya di rumah. Sebagian besar orang tua mereka tidak bisa baca tulis. Hanya satu dua orang yang bisa membaca dan menulis," kata dia.
Sagiman menyambut baik keputusan pemerintah yang kembali membuka sekolah terutama di zona hijau dan kuning. Keputusan tersebut merupakan keputusan yang tepat karena tidak semuanya bisa mengakses PJJ.
Capaian kurikulum, lanjut dia, sulit tercapai pada situasi seperti saat ini.
"Mereka (siswa, red.) ini memang belajarnya di sekolah, karena kalau di rumah membantu orang tua, entah itu ke ladang maupun ke kebun," jelas Sagiman.
Jika pembelajaran dari rumah terus dilakukan, Sagiman khawatir akan ada siswanya yang putus sekolah karena kesibukan membantu orang tuanya.
Jika sudah berhenti, sulit untuk mengajak anak-anak itu kembali ke sekolah. Bahkan pada awal sekolah itu berdiri, para guru yang datang ke rumah warga untuk mengajak anak sekolah.
"Alhamdulillah hingga saat ini belum ada yang seperti itu. Awalnya, kami khawatir bakal ada kejadian seperti. Tapi sepertinya mereka senang bisa kembali ke sekolah," kata dia.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mengatakan terdapat sejumlah kendala yang dihadapi oleh sekolah, orang tua hingga peserta didik selama PJJ.
Baca juga: 85,5 persen orang tua cemas anaknya kembali sekolah
Banyak guru kesulitan dalam mengelola PJJ serta terbebani untuk menuntaskan kurikulum. Waktu pembelajaran berkurang sehingga guru-guru tidak mungkin memenuhi beban jam mengajar.
Selain itu, guru-guru juga kesulitan berkomunikasi dengan orang tua sebagai mitra di rumah ketika anak menerapkan PJJ.
Kendala orang tua sebagai guru pertama bagi anak di rumah juga tidak mudah dalam mendampingi belajar, karena mereka juga memiliki sejumlah pekerjaan lainnya yang mesti dikerjakan.
"Ada pula yang harus beradaptasi terhadap anak-anaknya melakukan pembelajaran di rumah," kata Nadiem.
Tidak hanya itu, kata dia, ada juga orang tua yang kesulitan memotivasi anak-anaknya untuk belajar, ditambah lagi kesulitan dalam hal memahami materi pelajaran atau kurikulum.
Dari sisi siswa, siswa kesulitan konsentrasi belajar dari rumah dan mengeluhkan beratnya penugasan dari guru. Belum lagi peningkatan stres dan jenuh akibat isolasi yang berkelanjutan serta berpotensi menimbulkan rasa cemas dan depresi pada anak.
"Kemendikbud sejak awal telah melakukan sejumlah upaya, di antaranya program Guru Berbagi, bimbingan teknis daring, webinar hingga penyediaan kuota internet gratis bagi siswa," jelas Nadiem.
Kemendikbud juga melakukan relaksasi anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) yang bisa digunakan untuk kuota siswa, peralatan pembelajaran dan untuk peralatan persiapan pembelajaran tatap muka.
Bagi daerah yang kesulitan dengan akses internet, Kemendikbud meluncurkan program belajar dari rumah yang disiarkan oleh TVRI dan RRI, mengoptimalkan Rumah Belajar sebagai salah satu platform daring, serta kerja sama dengan mitra lainnya.
Baca juga: Pendidikan masa pandemi, pendidikan kehidupan
Baca juga: FSGI dorong maksimalkan pembelajaran jarak jauh melalui televisi
Baca juga: KPAI dorong pemetaan masalah terkait PJJ di masa pandemi
Pewarta: Indriani
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020