"Kami mengajukan uji materi terhadap ketentuan ambang batas presiden. Kami menginginkan ketentuan ambang batas presiden itu nol persen alias tidak ada," ujar kuasa hukum pemohon, Refly Harun, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat.
Menurut dia, pemilihan umum presiden yang berkualitas memerlukan persaingan yang adil serta diikuti lebih banyak kandidat terbaik.
Baca juga: Aturan ambang batas pencalonan presiden kembali digugat
Baca juga: Perludem nilai ambang batas pencalonan presiden irasional
Baca juga: Komisi II: Ada kecenderungan fraksi turunkan ambang batas presiden
Sementara Rizal Ramli mengaku ingin mengubah sistem pemerintahan yang dinilainya otoriter menjadi demokratis. Selain itu, ia ingin tanah air bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
"Baru 20 tahun kemudian kita berubah dari sistem otoriter ke sistem demokratis. Awalnya bagus, tapi makin ke sini makin dibikin banyak aturan yang mengubah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal," kata Rizal Ramli.
Ia menyebut kandidat kepala daerah hingga presiden harus menyewa partai untuk mengajukan diri menjadi calon dan memerlukan biaya yang besar. Menurut dia, ia pernah ditawari untuk mencalonkan diri menjadi peserta pemilu pada 2009 dengan tarif hampir Rp1 triliun.
"Saya ingin seleksi kepemimpinan Indonesia kompetitif yang paling baik nongol jadi pemimpin, dari presiden sampai ke bawah. Itu hanya kita bisa lakukan kalau ambang batas kita hapuskan jadi nol," ujar dia.
Ia berharap Mahkamah Konstitusi mengubah pendiriannya soal ambang batas. Apalagi ia membawa argumentasi yang disebutnya berbeda dengan permohonan-permohonan terkait ambang batas sebelumnya.
"Baru kali ini argumen ekonomi loh ya, bahwa ini yang merusak Indonesia," kata Rizal Ramli.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020