"Tidak logis bicara kepemimpinan masa depan dengan kekuatan masa lampau untuk menentukan koalisi yang akan berkontestasi. Sayangnya irasionalitas itu tidak menjadi pertimbangan MK untuk diprioritaskan," ujar Titi dalam acara diskusi publik bertajuk Hapus Ambang Batas Nyapres, Darurat Demokrasi, Darurat Konstitusi yang diselenggarakan PP Muhamamdiyah di Jakarta, Selasa.
Sampai saat ini MK belum mengeluarkan putusan atas gugatan yang diajukan sejumlah masyarakat sipil soal ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang diukur dari hasil Pemilu sebelumnya.
Baca juga: Aturan ambang batas pencalonan presiden kembali digugat
Titi mengatakan ambang batas itu merupakan rekayasa elektoral yang tidak sesuai dengan desain pemilu yang ingin diwujudkan. Sebab ambang batas itu menyebabkan narasi pencalonan Presiden menjadi semakin pragmatis.
"Narasi pencalonan Presiden menjadi pragmatis. Bukan bicara apa visi-misi, tapi siapa figurnya, karena ini dibatasi ambang batas," jelas Titi.
Selain itu ketentuan ambang batas ini dinilai juga mempersempit ruang bagi perempuan untuk bisa tampil dalam Pilpres karena saluran yang semakin sempit.
"Ambang batas ini semakin menjauhkan perempuan," kata Titi.
Baca juga: KPU laksanakan putusan MK terkait pencalonan Presiden-Wapres
Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018