• Beranda
  • Berita
  • Analis sebut kekuatan parpol tak selalu linier dengan perolehan suara

Analis sebut kekuatan parpol tak selalu linier dengan perolehan suara

12 September 2020 10:53 WIB
Analis sebut kekuatan parpol tak selalu linier dengan perolehan suara
Analis politik Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. ANTARA/dokumentasi pribadi
Analis politik dari Universitas Diponegoro Teguh Yuwono menyebut kekuatan partai politik tidak selalu berbanding lurus (linier) dengan perolehan suara kontestan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020.

"Meski semua partai politik di legislatif mengusung pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, tidak selalu berbanding lurus dengan perolehan peserta pilkada," kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. di Semarang, Sabtu.

Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip itu mengemukakan hal itu ketika menjawab pertanyaan ANTARA terkait dengan bakal pasangan calon dari partai politik yang menguasai kursi DPRD berpeluang memenangi pilkada.

Baca juga: Pengamat: Pilkada harus jual program bukan saling menjatuhkan

Pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta, misalnya, PDIP yang menguasai 75 persen dari 45 kursi DPRD setempat (30 kursi) mengusung pasangan Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa. Ditambah lagi PAN tiga kursi dan Partai Golkar sebagai partai pendukung tiga kursi.

Teguh Yuwono mengemukakan bahwa kekuatan partai pengusung dan pendukung tidak selalu linier dengan perolehan suara kandidat pada hari-H pencoblosan karena pilkada itu ada faktor figur dan kharisma calon.

Menyinggung soal calon peserta pilkada terpapar virus corona bakal berpengaruh pada tingkat keterpilihannya, dia mengutarakan bahwa hal itu tidak terlalu relevan dengan kondisi peserta pilkada apakah kena COVID-19 atau tidak.

Menurut alumnus Flinders University Australia ini, biasanya pemilih tidak terlalu mempertimbangkan persoalan-persoalan tersebut dengan logika politik karena biasanya mereka lebih melihat pada figur yang mencalonkan diri dan kemampuan kontestan menjadi pemimpin politik.

Baca juga: Pengamat: Politik identitas lebih berbahaya dari politik uang

Terkait dengan calon yang menjalani tes usap tidak mengikuti tahapan tes psikologi dan tidak menghadiri deklarasi pilkada damai karena ada dugaan terkena COVID-19, menurut Teguh, hal itu tidak berpengaruh pada tingkat keterpilihan pasangan tersebut.

Ia menegaskan bahwa pemilih di Tanah Air bukanlah pemilih rasional. Dengan demikian, apakah bakal calon itu hadir atau tidak dalam deklarasi pilkada damai, tidak besar pengaruhnya.

"Mereka biasanya memilih atas dasar pertimbangan-pertimbangan tradisional dan pertimbangan-pertimbangan ekonomi," katanya.

Teguh berpendapat bahwa faktor yang paling besar pengaruhnya pada waktu normal dahulu adalah faktor ekonomi. Faktor uang ini ikut memengaruhi orang menentukan pilihan.

Namun, lanjut dia, pada masa pandemi COVID-19 sekarang ini, orientasinya berbeda. Orang tidak lagi berorientasi pada pencapaian uang, tetapi lebih pada bagaimana proses-proses mendekatkan diri secara daring (online) kepada masyarakat.

Baca juga: Pengamat harap bakal cakada bisa kontrol penerapan protokol kesehatan

"Jadi, calon peserta pilkada harus pintar-pintar dalam situasi seperti ini," kata Teguh yang pernah sebagai Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Undip.

Ujiannya sekarang, menurut dia, apakah politik uang akan efektif pada era COVID-19 atau ada faktor lain yang lebih besar pengaruhnya? Hal ini akan diuji pada pilkada yang dijadwalkan pada tanggal 9 Desember 2020.

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020