Haruskah Pilkada Serentak 2020 kembali ditunda?

16 September 2020 16:08 WIB
Haruskah Pilkada Serentak 2020 kembali ditunda?
Ilustrasi - Pilkada 2020. ANTARA/Naufal Ammar

Ini pilkada darurat. Risiko kesempatan manusia amat berat. Paslon harus mengedepankan kesehatan semua orang.

Kekhawatiran berbagai pihak terhadap pelaksanaan Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) Serentak 2020 menimbulkan klaster baru penyebaran COVID-19 mulai terjadi.

Klaster pilkada itu dimulai dari saat masa pendaftaran 4 hingga 6 September lalu. Pada saat itu bakal pasangan calon saat mendaftar tidak menerapkan protokol kesehatan COVID-19.

Pada saat mendaftar, umumnya mereka diiringi parpol koalisi maupun pendukung hingga simpatisan yang jumlahnya ratusan orang. Tentunya massa sebanyak ini menimbulkan kerumunan.

Baca juga: Anggota DPR: Perlu sikap adaptif tahapan Pilkada-prokes COVID-19

Berdasarkan catatan Bawaslu RI hingga Minggu (6/9) sebanyak 243 bakal pasangan calon diduga melanggar aturan protokol kesehatan COVID-19.

Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mencatat hingga Minggu itu, 315 bapaslon kepala daerah telah mendaftar ke KPUD. Dugaan pelanggaran ini terkait dengan jumlah massa yang datang ke kantor KPUD setempat.

Bawaslu akan menindaklanjuti dugaan pelanggaran dengan dua hal. Pertama, Bawaslu akan memberikan saran perbaikan atau teguran. Kedua, Bawaslu bakal melaporkan bapaslon yang melanggar protokol kesehatan kepada pihak pihak lain yang berwenang seperti kepolisian.

Apabila dalam kajian Bawaslu ditemukan pelanggaran terkait dengan kedua UU tersebut, pihaknya akan merekomendasikan kepada pihak lain seperti kepolisian guna menindaklajuti lebih jauh.

"Arak-arakan dan pengerahan massa menurut saya sudah berpotensi atau dapat diduga melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 dan Pasal 93 UU 6 Nomor Tahun 2018 atau larangan dari peraturan daerah setempat," ujar Fritz.

Presiden RI Joko Widodo pun sebelumnya sudah meminta agar para menteri Kabinet Indonesia Maju membuat langkah-langkah untuk mencegah penyebaran COVID-19 di klaster perkantoran, keluarga, dan pilkada.

"Hati-hati saya perlu sampaikan yang namanya klaster kantor, klaster keluarga hati-hati, yang terakhir juga klaster pilkada, hati-hati, agar ini selalu diingatkan," kata Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta.

Baca juga: Pilkada Kota Pasuruan, Gus Ipul tak pasang target perolehan suara

Presiden Jokowi menyampaikan hal itu dalam Sidang Kabinet Paripurna dengan topik "Penanganan Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi untuk Penguatan Reformasi Tahun 2021" yang diikuti langsung oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin, para menteri Kabinet Indonesia Maju, serta sejumlah pejabat terkait, termasuk Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo.

"Karena yang selalu kita kejar-kejar adalah tempat-tempat umum, tempat-tempat publik, tapi kita lupa bahwa sekarang kita harus hati-hati di klaster-klaster yang tadi saya sampaikan," ungkap Presiden.

Menurut Presiden Jokowi, penyebaran di klaster perkantoran dan keluarga karena masyarakat sudah merasa aman sehingga melonggarkan protokol kesehatan.

"Di klaster keluarga karena kita sampai di rumah merasa aman justru di situ harus hati-hati, dalam perjalanan sudah masuk kantor merasa aman sehingga kita lupa di dalam kantor protokol kesehatan," ucap Presiden menambahkan.

Untuk klaster pilkada, Presiden Jokowi meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Kapolri Jenderal Pol. Idham Azis untuk memberikan tindakan tegas.

"Dan yang ketiga saya minta ini Pak Mendagri urusan yang berkaitan dengan klaster pilkada ini betul-betul ditegasi, betul diberikan ketegasan betul Polri juga berikan ketegasan mengenai ini, aturan main di pilkada pilkada karena sudah jelas di PKPU-nya jelas sekali. Jadi, ketegasan saya kira Pak Mendagri dengan Bawaslu agar ini betul-betul diberi peringatan keras," perintah Presiden.

Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengingatkan adanya temuan pelanggaran protokol kesehatan pada periode pendaftaran peserta pilkada serentak di 270 daerah, 4—6 September 2020 karena banyak pasangan calon di berbagai daerah memancing kerumunan dengan melakukan konvoi atau arak-arakan, seperti di Kota Medan, Kota Solo, Kabupaten Karawang, dan Kota Surabaya.

Baca juga: Bawaslu Jember tidak temukan pelanggaran wakil bupati antar Faida-Vian

Tindak Tegas

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) meminta penyelenggara pemilihan, baik itu Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, di daerah untuk menindak tegas bagi bakal pasangan calon (bapaslon) yang tidak mematuhi protokol COVID-19 saat pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2020.

Bahkan, penyelenggara pemilihan bisa memberikan sanksi berupa diskualifikasi dari pemilihan kepala daerah serentak, kata Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Politik dan PUM) Kemendagri Bahtiar.

Aturannya sudah jelas bahwa protokol kesehatan harus diterapkan secara disiplin dalam setiap tahapan pilkada, termasuk saat pendaftaran bapaslon. Oleh karena itu, jika ada yang melanggar, mesti ada sanksi untuk efek jera.

"Aturannya sudah sangat jelas. Jadi, bagi yang melanggar protokol kesehatan harus mendapatkan sanksi. Saya usulkan agar KPU, Bawaslu diskualifikasi bakal pasangan calon yang tak peduli protokol kesehatan COVID-19," ucap Bahtiar menegaskan.

Mendagri Tito Karnavian, lanjut dia, sudah sering memperingatkan agar bakal pasangan calon tidak melakukan arak-arakan atau melakukan konvoi saat mendaftar ke KPUD setempat.

"Jangan sampai membawa massa banyak pada saat pendaftaran. Hanya saja, kenyataan di lapangan bakal pasangan calon tetap saja membawa massa pendukung. Ini jelas melanggar aturan," paparnya.

Baca juga: Mendagri duga 2 faktor bakal paslon pilkada langgar protokol kesehatan

Menurut dia, sebenarnya aturan penerapan protokal COVID-19 tercantum pada PKPU Nomor 6 tahun 2020. Di dalam Pasal 50 Ayat (3) disebutkan bahwa pendaftaran bapaslon hanya dihadiri oleh ketua atau sekretaris partai politik pengusul bapaslon.

"Jadi, sekali lagi di dalam aturan PKPU, ditegaskan pendaftaran bapaslon hanya dihadiri oleh ketua dan sekretaris partai politik pengusul dan/atau bapaslon perseorangan," tuturnya.

Timbulkan kerumunan massa dalam pilkada, ada dua faktor, bakal calon ingin menunjukkan kekuatan atau belum tersosialisasi. Sudah tahu aturan protokol kesehatan COVID-19 tetapi ingin menunjukan kekuatan show of force atau belum tahu detail aturan PKPU tersosialisasikan sehingga cara-cara lama masih digunakan.

KPU sudah menuyusun PKPU yang memuat protokol COVID-19, mulai pendaftaran, kampanye, pemungutan, hingga penghitungan suara.

"Semua sebenarnya sudah well design, sudah antisipatif pencegahan COVID-19," ujar Mendagri Tito Karnavian.

Kemendagri sudah memberikan efek penggetar dengan menegur para konstestan yang berstatus ASN, seperti kepada petahana yang melanggar prokes dalam tahapan pilkada.

"Sudah ada 71 kepala daerah petahana ikut kontestasi yang melakukan kegiatan menimbulkan kerumunan sosial diberi teguran," ungkap Tito.

Baca juga: Mendagri beri sanksi 53 kepala daerah pelanggar protokol COVID-19

Tiga kali melanggaran prokes COVID-19, sebagaimana diatur PKPU, jika kontestan itu terpilih, Presiden dapat memerintahkan Mendagri untuk menunda pelantikan yang bersangkutan selama 6 bulan.

Selama 6 bulan itu kontestan terpilih akan disekolahkan dalam jaringan IPDN guna menjadi kepala daerah yang baik. Sanksi tersebut, kata Tito, tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemda.

Padahal, Kapolri juga telah menerbitkan surat telegram berisi instruksi kepada jajaran-nya untuk menjaga kamtibmas dan mencegah terjadinya kerumunan selama pelaksanaan Pilkada 2020 agar tidak terjadi klaster baru COVID-19.

Surat Telegram bernomor: ST/2697/IX.OPS.2.2/2020 tertanggal 7 September 2020 yang diteken Kabarhakam Polri Komjen Pol. Agus Andrianto mewakili Kapolri. PKPU, dan nyatanya pelanggaran masih terjadi, aturan seolah tak bergigi.

Pilkada Diminta Ditunda

Tentang pilkada jadi klaster COVID-19, publik meminta agar Pilkada Serentak 2020 ditunda di tengah situasi pandemik COVID-19 dan pro dan kontra terkait dengan pengetatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

"Temuan survei menunjukkan publik lebih memilih opsi Pilkada Serentak 2020 untuk ditunda di seluruh daerah, sebanyak 72,4 persen responden, karena khawatir kerumunan massa dalam pilkada akan menciptakan klaster baru COVID-19," kata Direktur Eksekutif Polmatrix Indonesia Dendik Rulianto.

Sebanyak 12,1 persen lebih memilih pilkada ditunda di daerah-daerah yang berstatus zona merah atau berisiko tinggi.

Sementara itu, yang menginginkan pilkada tetap dilanjutkan sesuai dengan jadwal sebanyak 10,6 persen, dan sisanya 4,9 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab. Pilkada sendiri sudah ditunda dari jadwal sebelumnya pada tanggal 23 September 2020.

Menurut dia, pada tahapan awal seperti pendaftaran bakal calon sudah menimbulkan kerumunan massa pendukung, apalagi nanti memasuki masa kampanye.

Baca juga: Khawatir klaster baru, survei: Publik minta Pilkada ditunda

Pilkada 2020 digelar di 270 daerah, mencakup 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Setidaknya ada 738 pasangan calon yang bakal berlaga memperebutkan posisi kepala daerah pada tanggal 9 Desember 2020.

"Bisa dibayangkan luasnya daerah yang menggelar pilkada dan banyaknya kontestan yang akan beradu merebut suara pemilih di tiap daerah," ujarnya.

Diketahui, sedikitnya 63 orang bakal calon kepala daerah diketahui positif COVID-19, dan jumlahnya masih terus bertambah. Demikian pula dengan penyelenggara pemilu, dari anggota KPU dan KPUD, Bawaslu, hingga petugas di tingkat bawah yang terjangkit. Opsi protokol kesehatan dalam pilkada diragukan efektivitasnya, terbukti dari banyaknya pelanggaran yang ada.

Tanpa ada pilkada saja, kata Dendik, penyebaran virus masih terus berlangsung, apalagi bila pilkada tetap diselenggarakan.

"Dengan pola kampanye yang masih mengandalkan pengumpulan massa, virus akan lebih cepat menular. Dampaknya daerah-daerah tersebut bisa menerapkan kembali PSBB yang berujung pada hancurnya perekonomian dan penghidupan masyarakat," tutur Dendik.

Survei Polmatrix Indonesia dilakukan pada tanggal 1—10 September 2020 dengan jumlah responden 2.000 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia.

Metode survei dilakukan dengan menghubungi melalui sambungan telepon terhadap responden survei sejak 2019 yang dipilih secara acak. Margin of error survei sebesar ±2,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Baca juga: Pilkada Trenggalek, Arifin-Syah Natanegara pastikan negatif COVID-19

Pakar komunikasi dari Universitas Airlangga Surabaya Suko Widodo menyarankan KPU dan Bawaslu membentuk tim pengawas untuk mencegah adanya klaster baru COVID-19 pada saat Pilkada 2020. Tim pengawas terdiri atas ahli kesehatan dan epidemiologi.

Pembentukan tim dinilai perlu, terlebih terdapat salah seorang calon peserta Pilkada 2020 positif terpapar COVID-19.

Pada pelaksanaan pilkada kali ini, sangat berpotensi memunculkan klaster baru COVID-19 karena penyebaran virus salah satunya karena interaksi yang tak berjarak.

"Pada Pilkada 2020 potensi kerumunan sangat terjadi dalam aktivitas politik," ucap Sukowi, sapaan akrabnya.

Bahkan, lanjut dia, siapa pun sekarang ini berpotensi terkena COVID-19 sehingga penyelenggara pilkada harus kerja ekstra.

Meski KPU telah membuat larangan berkumpul dan anjuran untuk kampanye melalui daring, keinginan bertemu langsung dengan kandidat akan sulit dibendung.

"Padahal, dalam pertemuan itu terjadi interaksi orang yang kadang lalai jalankan protokol kesehatan. Potensi pelanggaran protokol kesehatan sangat terjadi dalam aktivitas politik," katanya.

Dosen FISIP Unair itu juga meminta setiap pasangan calon untuk menahan diri dan tetap mematuhi protokol kesehatan agar tidak adanya klaster baru COVID-19.

"Ini pilkada darurat. Risiko kesempatan manusia amat berat. Paslon harus mengedepankan kesehatan semua orang," ujarnya.

Pewarta: Chandra Hamdani Noor
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020